Lihat ke Halaman Asli

Anugrah Cinta

Diperbarui: 26 Juni 2015   04:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Jantungku berdebar tak menentu.
Keringat dingin membaur bersama bayang gundah.
Mata itu bercahaya sinar surga.
Memancarkan kelembutan hati Sang Pencipta.

Aku jatuh.
Tapi aku mengucap syukur.

Detik bertarung dengan rasa.
Kuikat kuat diatas langit lapis tujuh.
Kini kurasakan derap hari di setiap pori kulitmu.
Inikah yang namanya keajaiban cinta.

Matamu menyinari beku kalbu.
Tirai perlahan membuka titik nikmat.

Kupasrahkan semua untukmu.
Ku bagai serdadu pemburu kemerdekaan.
Bertarung, berjuang segenap jiwa raga.

Benderaku kutancapkan tepat ditanah suburmu.
Kita menyatu.

Pelan berjalan.
Aku suka senyum malu itu.
Aku suka bibir tebalmu. Kau kue lapisku.
Aku suka tangan gelapmu. Kau mutiaraku.
Aku suka rambut pirangmu. Kau madonaku
Aku suka enam jari kakimu. Itu abstrak.
Aku suka tanda lahir di pantatmu. Itu Peta harta karunku.
Aku suka kecil payudaramu. Itu Anugerah indah seorang Ibu
Maaf tak pernah terucap darimu.
cinta bukan permohanan. Itu ajarmu.

Kau tinggalkan cinta dihatiku.
Kau ajarkan aku bercumbu.
Kau ajarkan aku nikmat fana.

Lalu kau biarkan aku sendiri.
Kadang untuk menjadi dewasa orang harus merasa sakit.

Kini kau telah menjadi nyonya tuk seorang tuan.
Dan dalam darahku kini hanya ada mimpi menjadi tuan.
Aku tetap ada. Dan tak lagi percaya takdir dan di takdirikan. Keajaiban pun musnah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline