Lihat ke Halaman Asli

Tak Adil

Diperbarui: 26 Juni 2015   08:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Parjo berjalan menyusuri trotoar. mencari sosok sosok yang di kenalnya. terus melangkah mencari sebuah asa. tak lelah kaki menuju sebuah harapan. demi pendamping titipan Tuhan. langkahnya gontai, tapi di dalam ingatanya tajam menghafal. kencang mobil buatan jepang membuat anganya meloncat tergagap mengutuk. '' jancok jaran kon iku! matamu iku mbok dokok dengkul ta!!'' umpatan parjo hanya berbalas raungan penuh kecepatan, di selingi tawa tiga abg yang duduk di bawah akasia. kembali parjo mengukur jalan, langkahnya sekarang berpindah di jalanan. bukan di trotoar. walau hatinya ragu, takut ada kereta jepang mendorongnya dari belakang. namun sudah tak ada jalan. trotoar berganti menjadi ruang penjaja makanan dan minuman.


Semakin lama parjo tak ingat jalan yang di tujunya, otaknya sudah rapuh, usia menghapus segala ingatan manis dan pahitnya. air mata perlahan mengalir di matanya, membasahi keriput wajahnya. dahulu di jalan yang sedang parjo lintasi. dia berjuang sekuat tenaga demi pertiwi. tak ada darah yang terbuang sia sia. semua berkorban demi perjuangan. dengan loreng di hati, penuh tekad membara. parjo termasuk diantara ribuan pemuda yang menghalau tentara inggris. mengorbankan semua yang ada. masih di ingatanya. luka di pahanya adalah saksi bisu kejamnya tentara. namun juga sorak gegap gempita kemenangan. sekarang cerita itu hanya menjadi sebuah kebanggaan diri. tak ada yang mau menghargai selain dirinya sendiri. bahkan istri pun kadang juga mengumpatnya. ''pejuang kere tetep ae kere.''


Sudah hilang harapan itu, langkah itu tak tertuju. Bahkan tuk membayar biaya rumah sakit saja parjo tak mampu. walau di jiwanya masih ada sisa kepahlawanan itu. langkahnya hanya menuju dan mencari, para sahabat sahabat yang mau memberikan sedikit hutangan padanya. untuk biaya pengobatan istrinya yang terbaring di kamar kelas melati di bangunan putih berlinang cahaya. harapan parjo sekarang musnah hilang, tolakan halus pun bayak di terimanya. melihat semua temanya pun parjo pun juga tak tega meminta. tak jauh berbeda dengan dirinya. di usia yang sudah mendekati bau tanah banyak yang masih berjuang demi sekedar mengisi perutnya.


parjo melangkah menuju mencari kenangan sisa memorynya, di mana dia merasa bangga dengan dirinya. bahwa dia pernah menjadi berguna untuk tanah kelahiranya. tempat di mana kan memulai tidur panjangnya.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline