Lihat ke Halaman Asli

Dendam Tak Berkesudahan (The Paijo Family -13)

Diperbarui: 26 Juni 2015   04:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Stasiun Pasar Senen atau juga biasa disebut Stasiun Senen masih sunyi di pagi bulan November 1963. Di tempat inilah dulu , lima tahun lalu, mereka pertama kali menginjakkan kakinya di tanah Jakarta. Sepasang pemuda bernama Kardiman dan Kadir, keduanya dari Surabaya, hendak mengadu nasib di bumi Betawi dengan bekal sebagai seniman. Stasiun kereta api yang terletak di Kecamatan Senen, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, itu menyambut sepasang sahabat dengan sukacita, seperti halnya ketika menerima Chairil dan puluhan seniman lainnya untuk menghirup kemerdekaan berpikir dan berkarya di kawasan stasiun yang di bangun pada tahun 1916 dan di resmikan pada tanggal 19 Maret 1925 itu. Jika dulu mereka berangkulan dan bersama-sama mengepalkan tangan ke udara seraya bertekad hendak menundukkan Jakarta bersama-sama, maka di pagi yang gerah itu mereka berhadap-hadapan dalam situasi bertentangan. Di hadapan mereka membentang garis demarkasi yang sangat jelas tapal batasnya sesuai dengan panji-panji serta cita-cita yang mereka kibarkan. "Jadi sampai di sini perkawanan kita," ucap Kadir tegas. "Ya, kita sudahi segala yang pernah bertaut di antara kita," jawab Kardiman. "Ya, kita berselisih arah. Kau berjalan menuju ke kiri, sedang aku pilih yang kanan." "Ya, engkau memilih seni untuk seni, sedang aku memilih seni untuk rakyat! Silakan, kau menjadi antek Wiratmo, mendudukan seni yang jauh dari rakyat!" "Omong kosong macam apa pula ini. Otakmu sudah dicuci habis oleh Nyoto, Aidit, mencampuradukkan seni dan politik!" Kedua orang yang semula bersahabat itu kini bagai rel kereta yang tidak pernah akan bertemu. Keduanya dipisahkan oleh pilihan, dengan siapa mereka berkumpul dan menancapkan cita-citanya. Kardiman memilih bergabung dengan Lekra, sedang Kadir bergabung dengan Manikebu. "Aku menyesal mengapa mengajarimu menulis puisi dan prosa, beginilah jadinya, kau lebih asyik mashuk dengan para penyair genit yang hanya menulis tentang mimpi dan tak pernah menginjak ke bumi," ucap Kardiman. "Aku juga menyesal membiarkanmu berkawan dengan orang-orang di Jalan Cidurian, sehingga otakmu jadi keblinger! Tugas seniman adalah membuat indah kehidupan, bukan ikut campur memperkeruh kehidupan dengan terlibat ke dalam politik," Kadir menyebut sebuah alamat tempat yang ditengarai sebagai markas Lekra di Jakarta Pusat kala itu. "1001 kali seniman tidak berpolitik, 1001 kali pula politik akan mencampuri seni dan seniman," jawab Kardiman menirukan ucapan komponis dan penyanyi Lekra Amir Pasaribu. Sesampainya di Jakarta, mereka memang tetap berkawan, bahkan tinggal berumah di satu pemondokan di wilayah Sentiong. Namun tuntutan hidup membuat mereka mencari penghidupannya sendiri-sendiri. Kardiman sebagai seorang jurnalis, sesampainya di Jakarta langsung bergabung dengan Harian Rakjat, sebuah koran yang dekat dengan kalangan Partai Komunis. Sedang Kadir yang semula datang hendak menjadi pelukis mashur, setelah dikenalkan oleh Kardiman dengan Zaini, Bokor, Binsar, Bur, hingga Ras, lebih memilih untuk melukis karikatur dan sesekali menulis esai di berbagai harian yang menurutnya beraliran moderat. Hari demi hari, perjumpaan sepasang sahabat itu kian jarang. Kardiman tambah sibuk dengan kawan-kawannya di Lekra, hingga turut mengikuti Kongres lembaga itu di Solo pada tahun 1959. Sementara Kadir, cenderung lebih tertib menjalani kehidupannya. Hari-harinya adalah bekerja dengan mapan, beroleh penghasilan yang lumayan, dan berkecekupun dalam soal sandang pangan. Kontras benar dengan kehidupan Kardiman yang bergaya ploretar. Datang dan pergi seperti angin, sampai sedih Kadir memikirkannya, hingga di mata Kadir, Kardiman pelan-pelan berubah menjadi orang asing yang sama sekali tak dikenalinya lagi. Tapi begitulah, hidup, kata orang, memang pilihan. Kadir akhirnya bergabung dengan mereka yang megeluarkan Manifes Kebudayaan pada 17 Agustus 1963 di Jakarta, yang menyatakan bahwa kebudayaan adalah perdjuangan untuk menyempurnakan kondisi hidup manusia; bersama Drs. H.B. Jassin, Trisno Sumardjo, Wiratmo Sukito, Zaini, Bokor Hutasuhut, Goenawan Mohamad, A. Bastari Asnin, Bur Rasuanto, Soe Hok Djin, D. S. Muljanto, Ras Siregar, Hartojo Andangdjaja, Syahwil, Djufri Tanissan, Binsar Sitompul, Drs. Taufiq A.G. Ismail, M. Saribi Afn, Poernawan Tjondronagoro, Dra. Boen S. Oemarjati. Sementara Kardiman berada di Lembaga Kebudayaan Rakyat atau dikenal dengan akronim Lekra, merupakan organisasi kebudayaan sayap kiri di Indonesia. Dalam gerakannya, Lekra bekerja khususnya di bidang kebudayaan, kesenian, dan ilmu pengetahuan. Lekra bertujuan menghimpun tenaga dan kegiatan para penulis, seniman, dan pelaku kebudayaan lainnya, serta berkeyakinan bahwa kebudayaan dan seni tidak bisa dipisahkan dari rakyat. Lekra akhirnya memenangkan pertaruangan politik dengan ujung dilarangnya kelompok Manikebu oleh Soekarno karena menghalangi cita-cita Revolusi. * * * Peristiwa di Stasiun Senen itu benar-benar telah memisahkan dua sahabat dari Surabaya. Kardiman tak tahu lagi di mana gerangan Kadir berada setelah itu. Pernah Kardiman menyesali, mengapa dia mengajak serta Kadir ke Jakarta waktu itu. Jika saja mereka tetap tinggal di Surabaya, bisa jadi mereka akan tetap bersama sebagai sepasang sahabat. Ideologi memang serupa candu yang mencemari darah, hati, dan pikiran manusia tanpa menyisakan akal sehat sedikit pun. Siapapun yang telah mencecapnya hingga ke sumsum tulang belulangnya, jiwanya bakal menjelma ideologi itu sendiri. Maka siapapun yang menghalangi dan tak setuju dengan jalan ideologi yang dipilih, dia adalah musuh,  yang harus dibasmi. Tak peduli sanak maupun saudara, jika tak sefaham... berarti dia adalah lawan! Itulah yang terjadi di antara sepasang sahabat Kardiman dan Kadir. Mereka tak cuma berhadap-hadapan secara fisik, melainkan juga saling tikam melalui selebaran, brosur, dan media lainnya. Di ujung percakapan pda pagi di Stasiun Senin itu, sempat juga terlontar bahwa di antara mereka hingga anak keturunan mereka, lebih baik tak saling mengenal. "Kuharamkan anak keturunanku mengenal anak keturunanmu," ucap Kadir. "Najis bagiku mengenalmu lagi dan juga anak keturunanmu," timpal Kardiman. Pada tahun 1964, Kardiman menikahi Murniati, gadis Blitar yang akhirnya diboyong ke rumah orang tuanya di Surabaya, sedang Kardiman memilih untuk kembali ke Jakarta buat meneruskan perjuangannya menegakkan cita-cita Lekra. Kardiman mengecap kebahagiaan hanya setahun, dengan pulang pergi Jakarta-Surabaya untuk menemui Murniati yang tak lama kemudian mengandung. Setelah pecah peristiwa September 1965, Kardiman bersama orang-orang Lekra lainnya ditangkap. Kala itu dia sedang tidur nyenyak di rumah kontrakannya bersama beberapa orang kawan. Sebuah gedoran di pintu menjelang subuh di akhir tahun 1965, membuatnya bangun bersama todongan pistol bernikel di keningnya. Tanpa proses peradilan yang jelas, dia akhirnya digelandang dan dijebloskan ke penjara Salemba hingga tahun 1974. Rupa-rupa kepedihan dialami Kardiman selama di penjara. Mulai dari penyiksaan dan pengadilan yang bertele-tele, hingga terpisah dengan orang-orang yang dicintainya. Murniati yang telah memberinya seorang anak lelaki juga tak leluasa mengunjunginya, hingga akhirnya Kardiman meminta kepada istrinya agar tak usah lagi menengoknya di penjara. Selain jauh jarak Surabaya-Jakarta, Kardiman juga tak ingin anak dan istrinya ikut menanggung menerima cap sebagai "warga terlarang" yang akan dipersulit hidupnya.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline