Lihat ke Halaman Asli

Perbincangan di Ranjang

Diperbarui: 26 Juni 2015   04:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

[caption id="attachment_114806" align="aligncenter" width="640" caption="Ilustrasi/Admin (shutterstock)"][/caption] Semalam, sebelum terlelap dalam tidur, sebetulnya ada perbincangan antara Ijah dan anak semata wayangnya, Onah. Ibu dan putrinya itu memang akrab. Maklumlah, Pay sebagai kepala keluarga lebih kerap berada di luar rumah untuk mencari penghidupan sebagai seorang seniman. "Hihihi...." Onah mendadak tertawa kecil. Maknya tentu saja bertanya-tanya dengan pandang matanya. "Liat Mak, di atas sana. Mereka sedang asyik berpacaran," ujar Onah. Sepasang cicak sedang berkejaran di langit-langit kamar. Barangkali seperti laiknya manusia, si pejantan yang mengejar sedangkan si betina dengan malu-malu cicak mencoba menghindar ke sudut tembok. Dan... setelah melewati pergumulan yang dahsyat, sepasang cicak itu pun jatuh terkapar di lantai. Pluk! "Mereka pacaran ya Mak?" tanya Onah seraya ngusel di ketek ibundanya. "Tanya aja sendiri, tuh mumpung mereka masih di lantai," jawab Ijah. "Ih.. Ma'e ini lo, masa nanya ke cicak." "Mana Mak tahu mereka lagi apa. Jangan-jangan mereka sudah suami istri, jadi sudah tidak pacaran lagi." "Trus.. kalau suami istri, mereka lagi ngapain?" "Ya kayak bapak dan emakmu sebelum kamu lahir?" "Terus, setelah aku lahir.. bapak dan emak nggak lagi kejar-kejaran kayak cicak itu?" "Nggak, bapakmu sudah terlalu capek nyari duit, jadi udah nggak kuat kejar-kejaran. Ih... kamu ini loh, usiamu belum lagi genap 17, nggak elok ngomong ginian." "Kan Onah perlu tahu juga, Mak." "Hmmm... Emak tahu, jangan-jangan kamu sudah mulai pacaran ya?" Onah menjawab pertanyaan Ijah cuma dengan senyum. "Kenalin ke Emak dong. Siapa namanya, dari mana asalnya?" "Nama aslinya Hendrawan, tapi dia minta dipanggil Bang Hendry, biar keren katanya. Asalnya dari Bandung. Selain olahragawan, dia juga wartawan," papar Onah. "Gaya amat dia, udah bagus nama Hendrawan, malah diganti Hendry. Kasihan orang tuanya yang kasih nama. Mungkin saja nama Hendrawan berasal dari kata indra, Dewa petir, Dewa hujan, Dewa perang, raja surga, pemimpin para Dewa, ya pokoknya kepingin anaknya jadi orang hebat." "Atau bisa juga dari kata hen.." "Apa tuh artinya?" "Ayam betina, hehehe..." Ibu dan anak itu ketawa, mengagetkan sepasang cicak yang sedang istirah di lantai. Gara-gara ketawa mereka, sepasang cicak yang tadi bergulat terpaksa melarikan diri dengan arah berlawanan di tembok. "Orangnya gimana, nak?" tanya Ijah setelah tawa mereka mereda. "Orangnya macho, Mak. Badannya kenceng, perangainya baik..." "Hmmmm...." "Kenapa Mak? Nggak suka?" "Mak terganggu dengan nama Hendry." "Kenapa dengan Hendry? Emak pernah punya pacar namanya Hendry?" "Hush, ngawur kamu. Cinta Emak ya cuma ke bapakmu itu." "Habis apa dong?" "Orangnya kayaknya nggaya, pakai ubah nama segala." "Kan biasa Mak terjadi di kota, orang suka ganti-ganti nama. Pa'e juga ganti nama, Paijo njadi Pay." "Tapi itu bukan bapakmu yang mau, teman-teman di Bulungan aja yang ganti nama bapakmu." "Tapi Emak juga suka kan?" "Biasa aja. Tapi yang terang bapakmu ngga nggaya. Entah dengan Bang Hendrymu itu." "Ya... sedikit gaya sih Mak. Malah sedikit menjurus tidak tahu malu." "Hah? Maksudmu?" "Iya, pas kemarin ajak Onah ke Kafe, masa dia joged-joged gitu sama penyanyinya, ninggalin Onah sendiri." "Hmmm... Hati-hati nak, yang nggaya biasanya tak bertenaga. carilah yang bersahaja, gak mengada-ada, biasanya lebih berguna." Suara TV di ruang tamu menyenandungkan lagu "Tanah Airku", sepasang cicak yang tadi bergulat juga telah bersembunyi entah di mana. Dengan ekor matanya Ijah memastikan putrinya telah tidur pulas. Ijah memandangi putrinya itu sambil tersenyum bahagia. Beginilah dulu rupa dirinya. Cantik dan dipuja oleh banyak pemuda di tempatnya tinggal  di kawasan Keputran. Kawasan ini terdiri atas lima kampung yang posisinya sambung menyambung. Ijah ingat, betapa dulu ia kerap menyusuri jalanan dari Karang Bulak di sebelah utara yang akan bertemu dengan Keputran Pasar Kecil, Kedondong, Keputran Pejambon dan Keputran Panjunan di ujung selatan. Perkampungan padat penduduk ini dihuni oleh sebagian besar urban dari Lamongan, Mojokerto, Ngawi, Kediri, Malang, Madura dan Jawa Tengah. Yang unik pada perkampungan ini, selain terdapat gang sebagai akses jalan juga terdapat ‘lompongan’, jalan setapak yang sempit. Lompongan inilah yang menjadi satu-satunya akses jalan bagi penghuni rumah di sekitar lorong kampung. Nah, saban melewati jaan setapak itulah, ada saja mulut-mulut iseng lelaki yang menggodanya. Tapi mengapa dirinya memilih Paijo alias Bang Pay yang dikenalnya saat pemuda itu bermain biola di kampungnya untuk perayaan 17-an? Secara ragawi, Paijo memang menarik. Wajahnya yang tergolong ganteng itulah, dengan mata penuh misteri dan hidung mancung, yang membuat Ijah klepek-klepek dibuatnya. Ah, tapi bukan lantaran itu saja, pembawaan Paijo yang lembut itulah yang kemudian membuat Ijah nekat rela pergi dari rumah orang tuanya saat dirinya disuruh memilih, keluarga atau Paijo. Dipandanginya kembali wajah Onah. Hmmm.. benar-benar perpaduan antara dirinya dan Paijo, lengkap dengan sigat-sifatnya. "Mari kudekap kamu nak, sebelum kamu dibawa lelakimu pergi," ujar ijah seraya merengkuh bahu onah. anak beranak itu segera terlelap tidur. dalam tidur, mereka berlayar dengan waktu, menjumpai kenangan di silam kelam. di garis cakrawala mereka berhenti, seraya memandangi masa depan yang masih samar. Malam sempurna tua. Jodhi Yudono

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline