Lihat ke Halaman Asli

SFC: Hatrik dan Trik Milik Sumsel (Masih Belajar Dewasa Menuju Tuan Rumah Sea Games)

Diperbarui: 26 Juni 2015   14:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Olahraga. Sumber ilustrasi: FREEPIK

First of all, Selamat ya SFC.

SFC, Sebuah klub sepakbola yang tengah belajar menjadi profesional, menjadi besar dan dewasa di tengah gelombang arus persepakbolaan Indonesia yang masih carut-marut. Sebuah tim, yang sekali lagi mencatatkan sejarah di butir-butir perjalanan sepakbola Indonesia. Hatrik, merengkuh Piala Indonesia. Mungkin sudah sewajarnya Piala Indonesia (PI) tersebut menjadi milik SFC seutuhnya. PI untuk musim depan, sebaiknya bikin piala baru.

Sebagaimana tim-tim sepakbola di Indonesia, SFC bukanlah murni klub profesional. Mereka masih "menyusu' dari APBD Sumsel. Uang milik rakyat, yang setiap rupiahnya wajib dipertanggungjawabkan!! Dan salah satu bentuk pertanggungjawaban 'kinerja" SFC adalah juara (entah itu ISL atau PI). Dan awal tahun ini SFC (manajemen via pelatih dan pemain) menargetkan "juara kembar", mencoba mengawinkan ISL dan PI. Sebuah target kinerja yang realistis. Mencoba menganalogikan dengan target kinerja pemerintah --misalnya menurunkan angka kemiskinan-- maka tak salah ketika rakyat Sumsel menumpukan harapan bahwa kinerja itu akan tercapai.

Tak salah ketika masyarakat Sumsel, marah mendapati tim ini menderita kekalahan dari tim-tim "yang tak layak" mengalahkan SFC di ISL. Mereka pun lebih marah ketika ada pemain SFC yang mem"badoki" pendukungnya sendiri (badoki = memukul). Alih-alih, merengkuh dua piala, masyarakat khawatir SFC bakal tidak kebagian satu piala pun!. Mereka pun khawatir dana APBD akan melayang tanpa hasil.

Namun waktu menjawab, paling tidak 50% target kinerja SFC berhasil. Bahasa laporan kinerja begini : realisasi keuangan 100%, realisasi fisik 50%. Kondisi seperti ini --jika di keproyekan yang dilaksanakan oleh pemerintah-- sangat berbahaya dan mengundang pertanyaan (dari : inspektorat, BPK, Kejaksaan, dan KPK... hehehehe intermezo..). Untung ini bahasa olahraga, khususnya bahasa sepakbola, dimana realisasi kinerja Keuangan tidak akan (minimal jarang) sama dengan kinerja fisik. Mau bukti? tuh lihat Real Madrid...

Kembali ke awal tulisan, SFC memang masih belajar dan belajar. "Kekacauan" di tubuh yang katanya pengurus olahraga terpopuler di kolong bumi ini, tidak membuat SFC ikut-ikutan terseret. Hal yang paling nyata adalah kedewasaan tim. Mau setuju atau tidak sepanjang ISL dan PI, SFC mencoba menjadi tim yang dewasa dan mendewasakan. Ingat PI edisi IV tahun lalu, Persipura "mengamuk" merasa "dikerjain" wasit, lalu akhirnya WO. untunglah di PI edisi V mereka lebih kalem, dan harus mengakui keunggulan dan kedewasaan SFC di semifinal. Sebuah gol sah Obiara dianulir. Mereka tenang dan nyaris tanpa protes keras. Trik kedewasaan inilah yang juga "membunuh" lawan tangguh dan terhormat Arema Indonesia. Pemain muda Arema masih terlalu mudah dipancing "ketidakdewasaannya", yang membuat semangat dan skill mereka seolah hilang.

Pelajaran kedewasaan ini, mudah-mudahan menjalar ke seluruh kasta kehidupan di Provinsi Sumsel yang gagah berani, menjadi tuan rumah Sea Games tahun depan. Semangat dan pembelajaran dari SFC diharapakan menggugah warga Sumsel untuk menjadi peraih "piala-piala lain di Sea Games". Banyak ruang-ruang yang dapat menjadi lapangan untuk meraih 'piala-piala itu". Ada ruang keindahan dan kenyaman kota, ruang keamanan, ruang keramahan dan yang pasti ruang prestasi serta dimensi lain (seperti budaya dan kuliner). Kita Menunggu raihan nomor satu lagi. Yok buktikan....

Selamat SFC, Selamat Sumsel.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline