Lihat ke Halaman Asli

Joang Peby Bramingga

Membaca sebelum menulis

Menjadi Guru yang Bersyukur - Aplikasi Paradigma Inkuiri Apresiatif dalam Memprakarsai Perubahan

Diperbarui: 13 Mei 2024   13:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Sahabat guru semua, apa yang akan Anda jawab ketika Anda ditanya, "Sudahkah Anda mendidik murid-murid Anda sesuai filosofi kebijaksanaan pendidikan nasional demi sebuah visi menghasilkan para pelajar Pancasilais di sekolah Anda? Apakah pendekatan yang Anda ambil untuk mewujudkan visi tersebut berorientasi pada pemanfaatan aset atau pengadaan sumber daya?"

Pertanyaan tersebut terkesan sangat teknis dengan beberapa istilah serapan asing yang mengharuskan sebagian dari kita mencari definisinya di kamus. Dalam artikel ini, penulis mencoba mengabstraksi inisiasi perubahan dengan mengoneksikan beberapa aspek, di antaranya; peran pendidik sebagai pemimpin yang menuntun, inti filosofi pendidikan sang bapak pendidikan Indonesia, dan Profil Pelajar Pancasila. Ketiga aspek tersebut dibingkai dalam sebuah paradigma berpikir dalam mengelola perubahan yakni paradigma inkuiri apresiatif.

Pertama, peran guru sebagai penuntun senantiasa mengubah-sesuaikan didikan dan tuntunannya dengan keadaan lingkungan (kodrat alam) dan dimensi waktu (kodrat zaman) dalam kehidupan murid yang berorientasi kepada kemerdekaan murid (membebaskan murid dari segala tuntutan yang membebankan). Namun bukan berarti guru seleluasanya berlepas tangan dengan dalih kebebasan murid. Sebagai pemberi teladan ing ngarso sung tulodo, guru melaksanakan keteladanan-keteladanan yang dapat menginspirasi sehingga kebebasan yang dimiliki setiap manusia bebas, termasuk murid, dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya untuk kebermanfaat diri dan lingkungannya.

Kedua, guru dengan peran sentral sebagai pemimpin pembelajaran, mengupayakan tumbuh kembang budi pekerti luhur baik dalam bentuk perilaku, karakter, kebiasaan maupun budaya yang secara nasional mewujud dalam Profil Pelajar Pancasila. Sebagai pemimpin, guru memberikan kebebasan namun pada saat yang sama ia juga membingkai kemerdekaan tersebut dalam koridor yang jelas. Jika para murid belum pandai memanfaatkan kemerdekaannya secara benar dan bertanggung jawab, mereka dapat mencontoh gurunya. Sebagai pemimpin yang ideal seorang guru menggerakkan bukan dengan suruhan, komando, atau instruksinya melainkan dengan tebaran inspirasinya. Sebagai pemimpin, guru juga perlu mencontohkan cara menggunakan kebebasan tersebut terutama dalam kaitannya dengan kemandirian murid mengambil pilihan (yang baik daripada yang salah) yang mengarah pada peningkatan kualitas kehidupan mereka.

Sintesis kedua peran di atas yakni peran guru sebagai penuntun dan pemimpin pembelajaran, ia satu-satunya yang memegang kendali kepemimpinan atas murid-muridnya. Kendali tersebut semestinya ia gunakan untuk menuntun murid-muridnya menuju sebuah perubahan bermakna yang dapat diwujudkan dengan sebuah pendekatan yang menghargai aset-aset yang telah ada atau dimiliki, alih-alih terusik dengan segala yang belum dimiliki. Guru sebagai penuntun dan pemimpin mengenali kelebihan dan potensi yang ada pada murid-muridnya yang sejalan dengan prakarsa perubahan yang realistis, relatable (dekat dengan keseharian) dan terukur. Inilah yang dimaksud dengan pendekatan Inkuiri Apresiatif.

Ada sebuah model prakarsa perubahan yang sangat aplikatif yaitu model BAGJA yang merupakan adaptasi dari konsep manajemen perubahan buah pikiran Cooperrider yang konsepsi aslinya terdiri dari Define (definisikan perubahan yang dimau), Discover (gali pelajaran), Dream (proyeksikan mimpi), Design (rancang tindakan), dan Deliver (eksekusi tindakan).

Sebuah ilustrasi, seorang guru yang menyadari murid-muridnya kurang terampil bernalar kritis, akan menyiapkan sebuah prakarsa perubahan demi mewujudkan murid-muridnya yang lebih kritis. Ia mem-BUAT satu pertanyaan utama dan memerinci tindakan-tindakan yang diperlukan untuk menjawabnya. Ia kemudian meng-AMBIL pelajaran dari lingkungan sekitarnya dalam bentuk tindakan-tindakan penyelidikan untuk melengkapi persenjataannya dalam membuat murid-muridnya lebih kritis. Berikutnya ia meng-GALI mimpi dan memproyeksikan gambaran masa depan ketika prakarsa perubahannya berhasil untuk melecutkan semangatnya bahwa perubahan itu mungkin dilakukan. Kemudian ia men-JABAR-kan rencana yang lebih konkret dan praktis untuk menerapkan perubahan dalam rangka membuat murid-muridnya lebih kritis. Terakhir ia meng-ATUR eksekusi rencana konkret yang sudah teramat jelas dan memikirkan cara mengevaluasi prakarsa perubahannya.

Sebagai pemungkas, sudah saatnya guru kembali meninjau visinya tentang murid yang ia harapkan. Jangan sampai ia tetap mempertahankan visi yang barangkali mulai usang tergerus waktu. Tidak salah jika seorang guru memformulasikan kembali visinya jika kurang sejalan dengan kebijaksanaan pendidikan nasional atau kurang kompatibel dengan tuntutan pembelajar abad ke-21 (sesuai kodrat zaman murid saat ini). Dengan pola pikir aset, guru yang berjiwa besar akan lebih banyak bersyukur dengan karunia yang Tuhan berikan; dari lingkungannya, masyarakatnya, murid-muridnya. Kesemuanya merupakan aset berharga yang dapat menjadi bahan bakar motor penggerak perubahan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline