Lihat ke Halaman Asli

Joang Peby Bramingga

Membaca sebelum menulis

Tidak Ada Kata Terlambat untuk Mengakrabi Filosofi Ki Hadjar Dewantara, Catatan Reflektif Seorang Guru yang Menemukan Kembali Panutannya

Diperbarui: 29 Maret 2024   11:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Role Model Para Guru

Saat ini siapapun yang mengaku berprofesi guru dapat menunjukkan eksistensinya. Dia bisa menampilkan imaji seorang guru ideal masa kini; penampilan jasmaninya yang menawan didukung oleh tren fashion terbaru, kemelekannya terhadap utilisasi teknologi yang terlihat dari fasihnya bercerita di depan kamera, kapasitas keilmuannya yang mumpuni, dan yang paling substantif yaitu kompetensi-kompetensinya dalam ilmu pedagogi. Tidak heran seorang guru masa kini bisa menjadi seorang pemengaruh atau istilah kekiniannya 'influencer' dengan berpuluh bahkan beratus ribu pengikut atau 'follower'. Masyarakat luas dapat mengambil manfaat dari kontribusi nyatanya berupa konten-konten digital yang akan selamanya melekat sebagai properti intelektualnya.

Saat ini seorang guru dapat menginspirasi, menggerakan, memengaruhi guru yang lain atau rekan seprofesinya bahkan hingga masyarakat luas.

Saya tidak mencoba menyederhanakan fenomena kemunculan para guru influencer, mengomentari apalagi mengritisinya. Saya berusaha meninjau lebih ke penyingkapan tirai di balik fenomena itu. Saya memilih bergerak ke belakang, mencoba menilik apa yang para guru influencer itu lakukan di balik layar sebelum keterpaparannya meluas di dunia maya.

Kemudian saya menemukan satu kata yaitu 'panutan.' Ya, guru-guru influencer itu tidak bisa hanya kita elu-elukan karena jumlah 'follower' nya yang masif, kredit terbesar tentunya diberikan kepada siapa yang justru 'diikuti' oleh sang guru influencer tersebut. Dalam bahasa asing kekinian saya menyebutnya 'role model'. Pertanyaannya, siapakah role model para guru ideal nan berkharisma itu?

Di benak dan hati seorang guru dengan pengaruh yang luas di dunia maya dan nyata, ada paradigma, pola pikir, dan filosofi dari tokoh-tokoh panutan yang ia tempatkan di posisi kehormatan yang teramat tinggi. Bisa jadi muncul nama-nama praktisi pendidikan dari barat, para filsuf masa lalu, atau guru-guru kehidupan. Namun sepanjang para guru influencer itu mengakui identitas nasionalismenya, maka ada satu nama panutan yang tak tergantikan yaitu sang bapak pendidikan Indonesia, Ki Hadjar Dewantara.

Pendidikan yang menghamba pada anak, pendidikan yang berkesesuaian dengan kodrat alam dan zaman anak, tuntunan dan pengajaran untuk keselamatan dan kebahagiaan anak, cipta-karya-karsa, dan yang paling fenomenal trilogi Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani, adalah sekelumit kristalisasi pemikiran dan filosofi sang bapak pendidikan Indonesia.

Tidak dipungkiri, pemikiran-pemikiran beliau lah yang menjadi pilar pengokoh sekaligus landas-pijakan pendidikan di negeri tercinta ini.

Ironisnya, banyak di antara para guru Indonesia yang luput mengkaji filsafat pendidikannya secara utuh. Saya salah satunya.

Persepsi Awal Saya Tentang Murid dan Pembelajaran di Kelas

Saya bukanlah seorang guru pemengaruh yang saya paparkan ciri-cirinya di awal tulisan ini. Dan saya merasa kurang terberkati (tanpa mengurangi kesyukuran saya) karena terlambat mengkaji kembali buah pikiran sang panutan, sekalipun saya lulusan salah satu jurusan pendidikan, memegang lisensi mengajar, tersertifikasi sebagai pendidik, dan telah mengajar lebih dari satu dekade.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline