Lihat ke Halaman Asli

Dahlan Iskan Antara Gelandangan dan Bangsawan

Diperbarui: 24 Juni 2015   02:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1390482116361783376

Gambar di atas mungkin tidak berarti apa apa. Hanya gambar biasa. Gambar orang tidur kedinginan berselimutkan sarung di lantai beralaskan tikar. Dari tumpukan kardus dan pakaian di belakangnya orang mudah menduga bahwa itu adalah sebuah kamp pengungsian atau malah sebuah gudang. Benar benar bukan gambar yang luar biasa, yang tidur itu pun pasti orang yang biasa biasa saja.

Bila gambar di atas diambil dengan latar belakang kota besar, tumpukan kardus pakaian berganti jalan atau selokan pastilah orang mengira yang tidur itu gelandangan. Bukan orang kebanyakan apalagi bangsawan. Susah membayangkan orang berstatus bangsawan tidur di tepi jalan atau di bawah jembatan. Gelandangan dan bangsawan hanya akhiran katanya saja yang serupa, realitanya jauh berbeda.

Orang yang tidur kedinginan itu adalah Dahlan Iskan. Dia bukan gelandangan juga bukan bangsawan. Semalam di Sinabung Dahlan langsung mengunjungi kamp pengungsian yang ada di tepi gunung dan bermalam di sana. Tidur bersama para pengungsi bukan di penginapan yang telah disediakan untuk pejabat sekelas menteri.

Tidak ada protokoler kaku layaknya pejabat yang mau menginap. Tidak ada pula pengerahan wartawan untuk meliput blusukan Dahlan.Yang nampak hadir malah beberapa relawan dan sebagian aparat setempat. Memang seperti itulah Dahlan, bagi yang mengenalnya mungkin hal itu sudah biasa. Bagi yang belum terbiasa pasti mudah menudingnya dengan aksi pencitraan belaka.

Tentu amat mudah mengkaitkan pencitraan Dahlan dengan keikutsertaannya dalam konvensi Partai Demokrat. Apalagi Dahlan memang dijadwalkan mengikuti debat antar kandidat konvensi yang lokasinya di Istana Maimun Medan, tak jauh dari lokasi bencana. Banyak pula yang mengkritik kenapa baru sekarang Dahlan Iskan turun, kenapa tidak dari dulu sejak awal meletusnya gunung Sinabung.

Bagi Dahlan simple saja berpikirnya. Sejak dia mewakafkan hidupnya setelah diberi hati dan hidup baru, pencitraan apalagi yang dia kejar. Bukan Dahlan yang selama ini minta dijadikan menteri, begitu pula dengan ikutnya dia dalam ajang konvensi. Dahlan itu jadi menteri alhamdulillah, gak jadi pun tetap bersyukur mengucap alhamdulillah. Apapun peran yang dijalaninya Dahlan hanya berusaha agar sisa hidupnya dapat lebih bermanfaat bagi sesama, bangsa dan negara...itu saja.

Pencitraan atau bukan itu adalah masalah keikhlasan. Cukup Dahlan dan Tuhan yang tahu.

Dengan modal ikhlas seperti itu, enteng saja Dahlan menyikapi berbagai macam kritik dan hujatan. Kritik yang membangun tentu pantas untuk diperhatikan, tetapi sekedar tudingan yang mempertanyakan niat baiknya membangun bangsa ini, buat apa didengarkan. Dahlan lebih memilih bekerja dibanding meladeni kritikan semacam itu yang seolah tiada habisnya.

Bilapun Dahlan berkunjung ke Sinabung lebih awal, tetap saja dia akan dituduh melakukan pencitraan. Bukannya membenahi BUMN lha kok malah ngurusi kerjaan menteri sosial. Mungkin begitu kata orang yang dasarnya sudah benci. Kalaupun tidak berkunjung ke lokasi pengungsi tetap juga dia akan dicaci, peserta konvensi yang satu ini sungguh tak tahu diri. Calon presiden tapi empatinya minim sekali.

Jadi buat apa mendengarkan omongan yang tidak akan pernah selesai itu. Bagi Dahlan bekerja harus efisien dan efektif. Sekalian ke Medan dia bisa berkunjung ke pengungsi gunung Sinabung. Saat bencana meletus pertama kali toh dia bisa berkomunikasi dengan BUMN di sana mengkoordinasikan apa yang bisa dilakukan, entah lewat CSR atau lainnya. "Seribu kali saya berbuat kebaikan tetap saja orang akan mencari cari kesalahan saya" kata Dahlan.

Yang terpenting adalah menunjukkan rasa duka, empati dan simpatinya yang begitu dalam dengan para korban. Sebagai pribadi dan pejabat negara Dahlan menunjukkan ungkapan duka yang tidak hanya dengan kata kata, tapi ikut merasakannya bersama mereka kalau bisa sedikit menghiburnya. Dahlan ingin menunjukkan bahwa negara tidak abai pada rakyatnya, negara itu ada dan bertanggung jawab terhadap bencana yang dialami warganya.

Sampai tengah malam Dahlan belum tidur, bercengkerama dan bercerita dengan anak anak yang sepantaran dengan cucunya. Pagi pagi buta disaat pengungsi lain masih terlelap, dia sudah bangun siap berkeliling ke lokasi bencana.

Apa yang sudah dilakukan Dahlan tidak perlu ditiru tiru bila hanya mengejar popularitas semata. Hasilnya pasti akan berbeda meski serupa yang dilakukannya. Semuanya tergantung niatnya. Dahlan pasti sangat berharap kehadirannya yang hanya sebentar, tidurnya yang cuma semalam dapat sedikit berguna bagi mereka.

Kalaupun tidurnya dianggap sama dengan tidur para gelandangan, sama sekali dia tidak akan kecewa. Bila itu cukup menghibur rakyatnya, memberi pandangan baru pada mereka bahwa ada pejabat negara yang mau menemani mereka tidur di penampungan, kedinginan bahkan sudah mirip seperti gelandangan. Dahlan tentu akan senang luar biasa.Kebahagiaan mereka jauh lebih utama dibanding sekedar tuduhan pencitraan apalagi sekedar tidur mirip gelandangan.

Dahlan Iskan adalah seorang pejabat negara. Dahlanlah yang menentukan kemana ratusan perusahaan milik negara mau dibawa. Dahlan adalah orang penting di negeri ini. Negeri tetangga bahkan dunia pun mengakuinya. Bila hidup di jaman kerajaan sudah pasti gelar bangsawan bakal disandangnya. Tetapi untuk menghibur rakyatnya, menghilangkan penderitaan mereka meski sesaat, tidur layaknya gelandangan di jalan pun dengan senang hati dijalaninya.

(Salam)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline