Abuse of power atau kesewenang-wenangan kekuasaan sejatinya sudah sering terjadi dimana-mana, tanpa terkecuali institusi penegakan hukum. Montesquieu menyatakan bahwa "There is no greater tyranny than that which is perpetrated under the shield of the law and in the name of justice [Tirani tertinggi adalah disaat melakukannya di bawah perlindungan hukum dan atas nama keadilan]". (Montesquieu, 1956).
Thomas Hobbes melihat secara seksama bahwa manusia pada dasarnya jahat terhadap sesamanya. Bila kita mengingat kisah Abel dan Cain, kita dapat melihat bagaimana manusia memperlakukan sesamanya.
Terutama terhadap manusia yang posisinya sedang lemah. Hal itu terjadi pada salah satu kasus perkara nomor registrasi No.Reg: 506/PK/Pid.Sus/2021. Pasalnya, tersangka dalam kasus tersebut, tidak diperhatikan hak-haknya di hadapan hukum yang sudah dijamin oleh peraturan yang tertulis di Indonesia.
Secara nyata bahwa para oknum penegak hukum yang melabeli dirinya bekerja demi keadilan, nyatanya bekerja untuk kepentingannya sendiri. Hak seorang tersangka yang wajib didampingi oleh kuasa hukum pilihannya dia atau disediakan oleh pengadilan tidak dipenuhi oleh oknum penegak hukum ini.
Dalam Pasal 114 KUHAP, diwajibkan tersangka untuk diberitahu haknya untuk mendapatkan bantuan hukum. Lebih daripada itu, Pasal 56 menambahkan bahwa pejabat penegak hukum wajib menunjuk penasihat hukum untuk tersangka. Hal ini diperkuat dengan putusan yurisprudensi Mahkamah Agung No. 1565 K/Pid/1991.
Seharusnya, hak-hak tersangka dalam proses penangkapan yang dilakukan oleh oknum kepolisian harus diberitahukan haknya tersangka dan didampingi oleh advokat yang tersangka pilih atau dari negara berikan.
Tindakan kesewenang-wenangan ini sungguh merugikan tersangka yang tidak mengetahui apa-apa soal hukum.
Padahal, hukum pidana merupakan ultimum remedium untuk penyelesaian perkara. Secara logika, kedudukan tersangka saat dirugikan dengan adanya penangkapan yang dilakukan oleh para oknum penegak hukum.
Pelaksanaan penegakkan hukum pidana di Indonesia haruslah berpihak kepada kebenaran materiil yang berbasiskan moralitas yang tinggi, sehingga dalam pelaksanaannya semua pihak berusaha mengejar kebenaran dan mempunyai ketinggian moral dalam berperkara di pengadilan. Dengan demikian, masyarakat benar-benar merasakan manfaat dengan adanya keadilan di dalam hukum.
Daftar Pustaka
Montesquieu, L'esprit de lois. New York: Colonial Press, 1956.