Lihat ke Halaman Asli

JLS and Partners

Kantor Hukum

Patologi Birokrasi, Tembok Waktu pada Peninjauan Kembali Pidana

Diperbarui: 6 Maret 2022   22:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokpri

Patologi Birokrasi atau bahasa lain dari penyakit birokrasi merupakan penyakit yang sering dirasakan oleh masyarakat umum. penyakit ini merupakan sebutan untuk mekanisme pemerintah yang secara administrasi mengalami maladministrasi atau disfungsi (Smith, 1988). 

Disfungsi mengindikasikan adanya suatu kesalahan sistem maupun peraturan yang sifatnya non-organik. Sementara, maladministrasi mengacu pada karakter dari aparatur birokrasi itu sendiri seperti pribadi yang korup, arogan, tidak sensitif, bias dan teledor.

Pengadilan yang memiliki unsur administrasi sejatinya tidak luput dari penyakit birokrasi itu sendiri. Layaknya proses Peninjauan Kembali (PK) yang diatur dalam Pasal 263 Undang Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). 

PK memberikan keluwesan terhadap terdakwa untuk mencari keadilan bagi dirinya terutama dalam mencari kepastian hukum. Dalam perkara pidana waktu merupakan faktor krusial.

Hukum pidana tidak akan terlepas dari Crime Control Model (CCM) dan Due Process Model (DPM). Keduanya membutuhkan diskursus yang lebih mendalam dan tidak memiliki bentuk kemutlakan didalamnya. 

Akan tetapi, jika kita melihat pada praktiknya Indonesia lebih memiliki kecondongan terhadap CCM dikarenakan penekanannya adalah efektifitas terhadap peradilan pidana dan pengurangan angka kriminal.

DPM sebagai polar yang berbeda menekankan seluruh hak dari terdakwa dipertahankan dan lebih diutamakan dibandingkan proses peradilan itu sendiri. Terhitung tahun 2021 terdapat 147.624 jumlah kasus pidana yang ditangani oleh kejaksaan seluruh Indonesia. Sewajarnya peradilan pidana lebih memiliki kecondongan terhadap efektifitas. 

Tetapi perlu juga diingat pidana merupakan ultimum remedium atau upaya terakhir karena memiliki penderitaan yang istimewa, melepas kemerdekaan seorang individu. 

Oleh karena itu, setiap kasusnya harus benar-benar diperhatikan keadilan dan kepastian hukumnya. Jika lalai dalam keadilan dan kepastian hukum, dapat mengakibatkan mendekamnya orang yang sejatinya tidak bersalah. Layaknya pribahasa yang cukup dikenal, 

"That it is better 100 guilty Persons should escape than that one innocent Person should suffer" (Bahwa lebih baik membebaskan 100 Orang yang bersalah daripada satu Orang yang tidak bersalah harus menderita

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline