UUD 1945 merupakan suatu dokumen/naskah suci Bangsa Indonesia yang terbentuk berkat hasil kerja keras yang panjang dan melelahkan dari para Pendiri Bangsa (Founding Father). Dimana dalam pembukaan UUD 1945 pada alinea IV termuat Pancasila sebagai landasan hukum tertinggi (Staatsfundamentalnorm) dan ideologi dasar Bangsa Indonesia. Lebih dari itu, setelah mengalami penindasan dan berbagai macam ketidakadilan selama 3,5 abad dari rezim kolonialisme yang otoriter, UUD 1945 merupakan bentuk kemerdekaan Bangsa Indonesia secara materiil, yaitu kemerdekaan untuk membuat, melaksanakan dan menegakkan hukum yang berlandaskan nilai – nilai luhur bangsa Indonesia yang selama era penjajahan tercampakkan dan dibawah bayang – bayang keangkuhan sistem hukum kolonial. Hal tersebut tentunya memberikan legitimasi pada keberlakuan UUD 1945 sebagai pedoman dan titik acuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia.
Amandemen terhadap UUD 1945 bagi sebagian kalangan terutama kalangan nasionalis tentunya sangatlah mencerminkan pengkhianatan yang besar atas jasa dan sumbangsih dari para Pendiri Bangsa yang telah merelakan jiwa, raga dan pikirannya untuk Negara Indonesia yang merdeka. Anggapan ini memanglah sangat beralasan, lantaran semangat Pendiri Bangsa pada waktu merumuskan Konstitusi ini masih suci dari kepentingan pragmatisme kekuasaan dan cenderung ke arah spirit pembebasan dan memajukan Bangsa ke arah yang lebih demokratis. Maka sangatlah tidak wajar apabila naskah hasil pemikiran dan perenungan mendalam tentang kondisi bangsa pada saat itu diganti begitu saja.
Dimana motif dari amandemen tersebut sangatlah sarat dengan kepentingan politik untuk memperebutkan kursi kekuasaan. Tetapi yang perlu diingat kembali ialah bahwasnnya sebelum UUD 1945 disahkan pada pada tanggal 18 Agustus 1945 Ketua PPKI Soekarno sendiri mengatakan bahwa UUD 1945 yang akan disahkan saat itu adalah UUD kilat, darurat, dan bersifat sementara yang perlu diperbaiki atau diubah kembali jika suasananya sudah kondusif.
Anggapan yang menyatakan bahwa UUD 1945 adalah sesuatu yang sakral sebagaimana yang digaungkan oleh rezim politik orde baru tidak sepenuhnya benar. Apabila keskralan yang dimaksud adalah bertujuan untuk menjaga kemurnian nilai – nilai luhur yang menjadi landasan bagi proses pembentukannya adalah hal yang dapat dibenarkan tetapi apabila ketika penyakralannya ditujukan kepada teks/susunan redaksi daripada UUD 1945, maka hal tersebut sangatlah disayangkan.
Karena naskah UUD 1945 tidak sama sifatnya dengan kesucian naskah Kitab Suci yang memang diturunkan langsung melalui perantara wahyu Tuhan yang memiliki sifat Kesempurnaan yang jauh dari sifat kelemahan dan ketercelaan. Berbeda halnya dengan UUD 1945 yang hanya merupakan produk buatan manusia, sekalipun pada waktu perumusannya jauh dari sifat – sifat tidak terpuji, tetapi tetap saja ada kelemahan dan ketidaksempurnaan. Sebagaimana dipahami bahwa manusia tidak bisa terlepas dari nafsu dan berbagai kepentingan keduniawian yang menyelimutinya.
Sistem pemerintahan otoriter yang dijalankan oleh rezim orde baru dibawah kepemimpinan Presiden Soeharto mencapai titik nadirnya ketika pada tahun 1998 segenap elemen masyarakat dan mahasiswa bahu membahu untuk menumbangkan rezim tersebut, walaupun ada peristiwa mengharukan yang mengiringi proses penggulingan kekuasaan pada saat itu. Seiring bergulirnya tuntutan reformasi di segala aspek kehidupan berbangsa dan bernegara, tak luput pula sorotan tertuju pada tuntutan untuk melakukan amandemen atas UUD 1945.
Banyak para kalangan akademisi pada saat itu menilai UUD 1945 sudah saatnya untuk dilakukan perubahan untuk menyesuaikan pada perubahan zaman yang semakin pesat. Maka MPR selaku lembaga negara yang memiliki kewenangan untuk mengubah UUD 1945 membentuk Komisi Konstitusi berdasarkan Ketetapan MPR No 1/2002 dan Keputusan MPR No 4/2003 dengan tugas melakukan pengkajian secara komprehensif tentang perubahan UUD NKRI Tahun 1945 oleh MPR.
Seiring bergulirnya waktu tidak dapat dipungkiri Amandemen UUD 1945 tersebut membawa kemajuan terhadap sistem ketatanegaraan Indonesia. Dimana hal tersebut sangat kentara ketika melihat bahwasannya MPR telah dapat memutus mata rantai kemandekan konstitusional dan deskaralisasi konstitusi menuju kehidupan yang lebih demokratis, dengan menempatkan tempat asal kedaulatan (Locus of Souveregnity) yang semula di tangan MPR menjadi di tangan rakyat yang dijalanlankan menurut UUD.
Dan juga yang patut diapresiasi pula yaitu, hadirnya lembaga baru seperti Komisi Yudisial yang bersifat independen yang bertugas memelihara kehormatan dan integritas hakim, yang selama masa pemerintahan sebelumnya peran lembaga legislatif sangat mudah diintervensi oleh lembaga kekuasaan lainnya, sehingga independensi dalam setiap putusannya dipertanyakan. Dengan adanya Komisi Yudisial pula kekuasaan kehakiman dapat dikontrol sehingga putusan yang dikeluarkannya sesuai dengan koridor hukum yang berlaku. Sebagaimana diketahui pula doktrin Hakim adalah Wakil Tuhan di bumi sangatlah rentan disalahgunakan untuk menutupi kecacatan dalam setiap putusannya yang berlindung di balik tugas suci yang diembannya.
Keberadaan Mahkamah Konstitusi sebagai hasil dari amandemen tersebut, juga merupakan kemajuan lain di dalam sendi ketatanegaraan Indonesia. Pada masa lalu banyak sekali UU yang dibuat secara sepihak oleh pemerintah dan DPR hanya dijadikan semacam rubber stamp tanpa bisa dibatalkan meski isinya diindikasikan kuat melanggar UUD. . Perubahan atas UU yang bermasalah pada masa lalu hanyalah dapat dilakukan melalui legislative review yang dalam praktiknya sangat ditentukan oleh pemerintah.
Dengan adanya MK semua UU yang dinilai bertentangan dengan UUD dapat dimintakan judicial review (pengujian yudisial) untuk dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 atau inkonstitusional sehingga tak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dapat dikemukakan bahwa MK telah tampil sebagai lembaga negara yang independen dan cukup produktif mengeluarkan putusan-putusan yang sangat mendukung bagi kehidupan ketatanegaraan yang demokratis.