Lihat ke Halaman Asli

Joko Martono

TERVERIFIKASI

penulis lepas

Mokat Ake, Budaya Megalitik di Lembah Baliem

Diperbarui: 9 September 2018   16:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

megalitik di situs Hitigima, Asotipo, Jayawijaya (JM)

Pengalaman berkunjung ke Papua, di samping ikut berpartisipasi dalam kegiatan yang telah direncana ternyata banyak pemandangan alaminya memesona. Di beberapa kawasan ditemui ragam artefak sebagai wujud materi budaya setempat yang tentunya memiliki nilai ataupun makna sehingga layak dipahami.

Demikian halnya di kawasan Pegunungan Tengah, tepatnya masuk wilayah Kabupaten Jayawijaya yang berada di lembah Balim/Baliem, Wamena, ditemui suatu budaya megalitik yang sering disebut Mokat Ake yaitu suatu budaya lokal atau tradisi jalan arwah.

Budaya yang berada di kompleks situs Hitigima Distrik Asotipo, Kabupaten Jayawijaya ini memberi gambaran tentang adat kematian dan religi suku Hubula. Hal ini menjadi bukti kehadiran budaya megalitik di Pegunungan Tengah Papua khususnya di seputaran Lembah Baliem Selatan.

Disebut budaya megalitik di sini dalam artian umum bahwa suatu tradisi budaya di beberapa daerah yang dikenal sejak awal masehi. Adapun bagi masyarakat pendukungnya sudah biasa menghasilkan peralatan terbuat dari batu-batuan yang digunakan dalam berbagai kegiatan saban harinya.

Di samping artefak berupa batu-batuan dalam berbagai bentuk dan ukuran, ditemui juga benda terbuat dari bahan kayu yang digunakan dan diyakini untuk tujuan sakral misalnya sebagai pemujaan terhadap arwah nenek moyang maupun kepada kekuatan-kekuatan alam yang lain.

Mokat ake atau jalan arwah dalam konteks ini dipercaya sebagai jalan yang dilalui arwah orang yang sudah meninggal sehingga dilakukan suatu prosesi untuk menghantarkan arwahnya. Adapun lokasinya yaitu dari kampung Asoma, Gunung Hesagenem (tempat bersemayam roh orang yang sudah meninggal) hingga Telaga Biru yang berada di kampung Maima sebagai pusat nenek moyang suku Hubula di masa lalu.

Ketika ada warga yang meninggal dunia dalam adat suku Hubula maka upacara kematian (owawen) masih selalu dilakukan. Kematian dalam hal ini dianggap sebagai awal memulai kehidupan memasuki dunianya yang baru. Selain itu upacara tersebut dilakukan sebagai salah satu bentuk penghormatan atau penghantaran roh ke alam baka.

Diawali dengan upacara potong babi pertama khusus bagi orang yang meninggal. Babi yang sudah dipotong, salah satu kaki belakangnya diambil kemudian digantung diletakkan di samping atau di atas mayat tersebut.

Selanjutnya disusul pemandian mayat dilakukan keluarga yang dipimpin Wesagun. Pemandian dilakukan melalui cara lemak babi bagian dada digosokkan ke seluruh tubuh mayat, setelah itu minyak babi bekas gosok mayat tersebut disimpan oleh Wesagun dengan mengikatkan ke isoak (tempat arwah) yang akan dipersembahkan dalam upacara.

Mayat yang sudah dimandikan dihiasi barang-barang miliknya dan barang persembahan dari keluarganya seperti noken dan yokal untuk perempuan, sedangkan koteka, bulu burung, dasi kulit bia (walimo), dan ekor anjing di lengan (yekesi) untuk laki-laki.

Mayat selanjutnya diletakkan di kursi (pat) yang terbuat dari kayu kul dalam posisi duduk, disemayamkan sehari dalam dapur (hunila), keesokan harinya barulah dilakukan ritual penghantaran arwah kemudian disusul pembakaran mayat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline