Oleh-oleh dari Papua (Mei 2018) lalu ternyata masih ada beberapa buku yang belum sempat penulis bagikan untuk menambah wawasan kita bersama. Salah satu di antara beberapa buku yang perlu diangkat dalam tulisan ini berjudul: Suku Hubula, Budaya Perang Suku Masa Lalu.
Buku yang disusun oleh Alpius Wetipo, terbit Mei 2018, tebal vi + 104 halaman, diterbitkan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Jayawijaya ini memfokuskan pada tradisi lokal yang disebut "perang suku" dalam kaitannya dengan sejarah dan kebudayaan setempat.
Secara deskriptif buku ini memaparkan 5 (lima) suku besar di Pegunungan Tengah yaitu Suku Hubula (Huwula) yang tinggal di Lembah Balim, Wamena-Kabupaten Jayawijaya. Suku Jali menyebar di bagian timur, Kabupaten Yalimo. Suku Hubla di selatan, Kabupaten Yahukimo. Suku Lani di barat, wilayahnya luas mulai dari Kabupaten Lani Jaya, Kabupaten Tolikara, Kabupaten Puncak Jaya, Kabupaten Membramo Tengah dan Kabupaten Puncak. Sedangkan Suku Ngalik-Siat berada di utara, Kabupaten Nduga.
Dijabarkan bahwa Suku Hubula memiliki wilayah di seluruh Lembah Balim, yaitu dari gunung Watikam/Perawaga sampai gunung Lua/Luawa. Suku ini punya tatanan suku, Sub-suku, dan Klen-suku, masing-masing menjalankan fungsi dan perannya. Sub-suku mempunyai batas wilayah Aliansi Perang (Wein/Wim awok egarek awa) sesuai batas wilayah Pesta Honai Adat (Wam Ero Palarek Owa). Batas-batas wilayah antara Sub-suku yang satu dengan lainnya terbatas pada wilayah honai adat.
Sedangkan Klien-suku yaitu yang memiliki hak ulayat tanah, gunung, area bertani/berkebun dan punya wilayah tertentu. Klen-suku memiliki Honai Adat yang mengatur kehidupan manusia (orang Balim) dan memiliki halaman kampung (Silimo). Aturan Perang Suku, Pesta Babi, membuka lahan/kebun baru dan sejenisnya semua diatur oleh Klen-suku dalam Honai Adat.
Secara umum, perang merupakan konflik/pertikaian antar kelompok atau suku karena tidak terjadi kesepakatan atas masalah yang sedang dihadapi. Namun perang yang terjadi dan dilakukan oleh Suku Hubula Balim -- bukanlah sembarang perang, bukan pula asal-asalan untuk menyerang dan membunuh musuh atau lawan.
Buku yang disusun Alpius Wetipo ini memberikan penjelasan serta meluruskan persepsi tentang beberapa istilah-istilah lokal yang membumi serta seluk beluk dan sejarah perang. Suku Hubula mengenal dua jenis perang yaitu Perang Suku (Itima Wim/Wein) yaitu perang yang dilakukan antara suku yang satu dengan suku lain. Sedangkan Perang Saudara (Uim atau Uma Wim/Wein) yaitu perang yang dilakukan antara klien suku di lingkup internal secara spontan, tidak memiliki aturan hukum adat dan tidak punya strategi khusus.
Sebab-sebab perang diungkap umumnya karena dendam peristiwa masa lalu, perebutan tanah (hak ulayat), pencurian ternak babi (alat pembayaran adat), dan masalah perselingkuhan atau perzinahan. Tradisi 'perang suku' bagi masyarakat Balim merupakan upaya mempertahankan harga diri dan bisa berlanjut menjadikan rasa dendam terhadap mereka yang menjadi musuhnya. Semuanya ini dijelaskan dalam buku secara lengkap, singkat, disajikan melalui bahasa yang mengalir.
Dalam konteks perang suku (antar suku), rencana strategis berupa pertimbangan matang sesuai kultur dan kearifan adat lebih diutamakan sehingga dalam perang suku selalu terkait aspek kepemimpinan, pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan aspek sosial budaya. Dijelaskan pula bahwa sebelum berlangsung perang suku, beberapa langkah dilakukan seperti upacara adat untuk membangun kekuatan dan mohon petunjuk kapada arwah yang sudah meninggal. Dalam bahasa daerah Balim disebut: wam oup nikik, eka lukaka isatik dan mokareke halik egarek.
Pada upacara adat juga dilakukan diskusi sesuai kedudukan dan tata urutan posisi terstruktur di antaranya: Jaman/hurek meke, tulem meke, dan kema meke. Masing-masing posisi harus ada/hadir karena ini merupakan peristiwa sakral dan berpengaruh kuat dalam menentukan suatu pengambilan keputusan untuk berperang seiring dengan dibacakan ilmu/mantra-mantranya (Harane egarek).
Perang suku (Itima Wim/Wein) yang dilakukan oleh Suku Hubula Balim -- bukanlah sembarang perang, tidak asal-asalan berperang melawan musuhnya. Melalui rencana matang dan prosesi yang harus dilalui selanjutnya disusun strategi perang, lokasi dan yang menjadi sasaran telah ditetapkan, termasuk peralatan perang yang digunakan seperti: kayu tombak (sege haliken) dan panah atau Jubi (sike/sike taga palek).