Lihat ke Halaman Asli

Joko Martono

TERVERIFIKASI

penulis lepas

Berita: Bukan hanya atau Sekadar Menyampaikan Fakta

Diperbarui: 28 November 2017   02:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Di era kekinian, lalulintas informasi yang disampaikan dan diterima oleh masing-masing pelaku komunikasi sangatlah padat, cepat, realtime, dan dominan bersifat interaktif.

Ditunjang kehadiran sarana teknologi informasi yang semakin canggih -- selanjutnya banyak membantu kegiatan manusia di berbagai bidang sehingga segala sesuatunya menjadi semakin efisien (dan efektif).

Dalam  kondisi demikian, transakasi informasi "meluber" bahkan tidak hanya melalui teks, tetapi proses penyampaian dan penerimaan sebuah informasi bisa dipublikasikan secara masif, bisa diedit, ditambahkan, dimodifikasi baik dalam bentuk teks/tulisan, gambar/foto, video, grafis atau bentuk konten lainnya.

Kalau zaman dulu (baca: sebelum ada media online) konsumen berita akan selalu menantikan informasi yang disampaikan/disiarkan dari hasil kerja para awak media/jurnalis atau sumber informasi. Tetapi sekarang setiap orang, dimana pun dan kapan pun sangat dimungkinkan menjadi pewarta. Salah satu dampaknya ya itu tadi > terjadi peluberan atau "banjir informasi"  dan tentunya mengajak kita selektif dalam memilih dan memilahnya.

Ketika mengonsumsi berita misalnya, kita harus mengetahui/memahami antara lain: siapa sumbernya, teknik peliputannya (oneside atau bothside coverage), sifat berita (fakta, opini, atau campuran), tendensi berita, bahkan foto peristiwa maupun foto yang ditampilkan sebagai pelengkap ternyata layak pula dicermati.

Seringkali persepsi yang melekat pada benak sang pewarta (yang kini jumlahnya tak terhingga), baik yang tergabung dalam institusi komunikasi maupun freelance ataupun wartawan tanpa media -- ikutserta menyebarkan berita dengan hanya mengandalkan fakta. Tentunya secara prinsip itu tidak salah, hanya saja dari cermatan penulis masih ditemui bahwa dampak yang ditimbulkan atas pemberitaan kurang dipertimbangkan.

Terutama berita-berita peristiwa aktual yang dipublikasikan media massa, termasuk media online (khususnya media sosial) dalam bentuk gambar/foto atau video yang disebarluaskan atau dibagikan di ruang publik virtual dengan tampilan korban kecelakaan, kriminalitas, teror bom, bencana alam, atau peristiwa terkait hilangnya nyawa manusia lainnya.

Berita berdarah-darah, luka menganga, dan sejenismya masih sering ditemui, kurang mempertimbangkan perasaan si korban dan tidak menunjukkan empati kepada korban beserta keluarganya. Dalam hal demikian, maka etika dan estetika sepertinya telah diabaikan.

Bukankah walaupun berita itu fakta, namun sebelum disajikan untuk kalangan luas sesungguhnya bisa dikemas dengan berpedoman pada etika dan estetika, pertimbangan kepantasan/kepatutan sehingga dampak yang ditimbulkannya tidak mengganggu kemanusiaan yang adil dan beradab.

Korban luka parah dan berdarah-darah boleh saja diliput dan disampaikan kepada khalayak, tetapi cara yang lebih etis yaitu menampilkan gambar/foto ketika si korban sudah ditutupi, dirawat di ruang kesehatan atau rumahsakit. Kalaupun itu mendesak akan diberitakan, bisa saja pengemasan cukup dengan bahasa teks atau disampaikan dalam bentuk narasi dan ini tentunya lebih manusiawi.

Bagi mereka yang belum memahami etika pemberitaan mungkin masih perlu banyak belajar dan belajar tentang cara peliputan hingga pengemasan berita sebelum disampaikan kepada publik. Prinsip dalam sebuah pemberitaan memang harus berdasar fakta.  Akan tetapi apalah artinya itu semua jika dampak atas pemberitaan hanya membuahkan rasa ketakutan, kengerian, eksplioitasi kebiadaban atau menimbulkan perasaan negatif lain yang semuanya itu lepas dari tanggungjawab sosial.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline