Lihat ke Halaman Asli

Jason A. Mailangkay

A lonely heart meditates

Mengenai Sastra Indonesia yang Semakin Melemah

Diperbarui: 4 Mei 2017   22:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

2017. Kini sastra sudah mulai terlupakan. Terutama di kalangan remaja. Sastra seperti sudah kehilangan tempat terhormatnya di Indonesia. Bahkan bisa dibilang sastra sudah 'mati'. Tentu saja, masih banyak yang mencintai sastra sepenuhnya, namun tidak sebanding dengan remaja-remaja yang cenderung lebih senang membaca buku atau novel yang tidak memerlukan banyak pemahaman. Atau biasa kita sebut 'Roman Picisan'. Biasanya 'Roman Picisan' ini bercerita sederhana dan hampir selalu berhubungan dengan percintaan dua remaja dan akhirnya hampir selalu berbahagia. Saya tidak bilang 'Roman Picisan' semuanya buruk. Namun, untuk mencari satu saja sulitnya setengah mati. Kebanyakan penulis jaman sekarang lebih memilih menulis cerita yang mudah saja. Mudah ditulis, mudah menghasilkan uang. Nyatanya, 'Roman Picisan' tidak dapat mengalahkan sastra klasik yang ditulis dengan pikiran matang dan membutuhkan pemikiran yang lebih mendalam dibandingkan kebanyakan roman jaman sekarang.

Mari kita ambil contoh sebuah novel indah dan diakui di seluruh dunia yang berjudul 'Bumi Manusia' karya Pramoedya Ananta Toer. Cerita yang disuguhkan secara menarik, karakter yang mudah disukai dari Minke, Annelies hingga Nyai Ontosoroh. Semua memiliki karakter yang memiliki 'tugas' berbeda-beda dalam cerita ini. Annelies yang manis, Minke yang cerdas dan bersifat keras serta Nyai Ontosoroh yang misterius dan memiliki kemampuan melebihi Nyai-Nyai lainnya. Novel ini sendiri sudah diterjemahkan ke lebih dari 30 bahasa!  Atau karya pendahulunya seperti Siti Nurbaya. Ditulis untuk menentang adat-istiadat dengan sangat eksplisit oleh Marah Roesli. Lalu, dengan segala kelebihan yang dimiliki karya-karya klasik tersebut, mengapa justru karya sastra klasik Indonesia semakin melemah?

Jawabannya terletak pada kemajuan jaman. Di planet kita yang semakin hari, semakin berkembang ini, membaca buku semakin dilupakan.  Semua orang, bukan dari Indonesia saja, menginginkan yang serba-instan. Tentu, kemajuan jaman sangat membantu manusia dalam bidang teknologi maupun ilmu sains. Namun, tak ada hal apapun yang sempurna. Semua memiliki kelemahan dan tak terkecuali teknologi dan ilmu sains. Kedua hal ajaib tersebut sangat membantu dalam hal medis, keselamatan, penunjangan hidup manusia dan berbagai hal lainnya yang sangat berguna. Namun, di sisi lainnya, manusia semakin hari, semakin malas. Menjauhkan yang dekat, mendekatkan yang jauh. Kebanyakan orang juga memilih hiburan yang instan dan tidak melelahkan seperti Youtube, Instagram, Twitter, Facebook. Dan di 2017 ini, semuanya dapat diakses melalui gadget kita masing-masing. Siapa juga yang ingin melelahkan mata dan otak dengan membaca, kan?

Mindset manusia jaman sekarang tentu berbeda dengan manusia sepuluh atau dua puluh tahun yang lalu. Dewasa ini, bukan bukan hanya sastra klasik yang 'terluka', melainkan budaya membaca buku secara umum pun 'terluka'. Orang tidak lagi ingin membaca buku. Tipis maupun tebal. Pengetahuan atau novel. Di mata kebanyakan orang semua sama saja. Satu hal yang saya syukuri di balik semua ini adalah komunitas pembaca yang tiada hentinya berusaha meneruskan budaya membaca. Saya pun dengan segala keterbatasan saya berusaha untuk mempengaruhi orang-orang sekitar saya untuk gemar membaca. Saya juga bersyukur karena ayah saya sendiri seorang pembaca jadi saya mendapat panutan baik sejak kecil. Juga mulai banyaknya usaha-usaha untuk menarik kembali minat orang untuk membaca. Seperti kemarin, Bapak Presiden Jokowi menyatakan mulai Juni nanti, pemerintah akan mengirim buku gratis ke daerah-daerah yang belum maju. Juga biaya pengiriman buku yang digratiskan melalui Pt. Pos Indonesia.

Akhir kata, sastra secara keseluruhan memang sudah 'dipukuli, lalu ditendangi', namun belum mati. Kita sebagai generasi penerus bangsa harus mempertahankan sastra maupun budaya membaca buku. Karena banyak yang tidak bisa dicari di Internet, bisa ditemukan di buku. Marilah kita membaca, untuk masa depan yang lebih cerah.

Jason Adriel Mailangkay.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline