-kepada An yang terus kucintai
An, bagaimana kabarmu? Sudah makan? Sudah bisa minum susu dan makan nanas?
An, masih ingatkah? Di suatu waktu, entah berapa tahun lalu, aku tak mau menghitungnya lagi, An. Sewaktu kita belajar geografi---tentang jenis batuan: batuan beku, batuan sedimen, batuan metamorf---dan pelajaran menanam di mata pelajaran pertanian.
Di lain waktu kita juga pergi mengaji mendengar bu guru menerangkan jika manusia itu dicipta dari tanah.
Kemudian di masa-masa aku menjalani tapa, maksudku mencintaimu dalam diam sekian belas tahun, tiba-tiba tanpa disangka aku merupa filsuf. Pura-pura bijak dan mengerti seluruh dunia serta hati seseorang. Tapi sebenarnya aku tak pernah tahu. Hati sendiri sekali pun.
Perihal tanah. Mengenai aku dan kamu. Sungguh aku tidak pernah tahu yang sebenarnya.
Aku pernah menanam pohon mawar, An. Pertama-tama ia tumbuh, mungkin karena tidak berjodoh akhirnya mati. Tanah terus tabah menerima dan melepaskan bunga itu, sebab di lain waktu di sana kutanam pohon cabai dan tumbuh subur hingga sekarang.
An, dalam keyakinan kita, manusia adalah tanah, tapi kenapa aku tak bisa melepasmu? Dan kenapa aku masih saja cemburu ketika kamu dengan kekasihmu? Kenapa, An?
Semarang, 04 Agustus 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H