Lihat ke Halaman Asli

Problematika Ibukota Pulau Dewata

Diperbarui: 18 Desember 2015   23:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kemiskinan merupakan masalah yang kerap timbul di hampir semua negara, terutama di negara berkembang seperti Indonesia. Berbagai kebijakan telah dilakukan untuk mengentaskan kemiskinan. Di dunia internasional sudah banyak kebijakan – kebijakan yang dibuat untuk mengatasi kemiskinan. Adanya MDGs (Millenium Development Goals) di tahun 2000 menyebutkan poin pertama yaitu mengurangi kemiskinan dan kelaparan. Memasuki akhir tahun 2015, Tujuan Pembangunan Millenium atau Millenium Development Goals (MDGs) mendekati akhir target waktu pencapainnya. Namun delapan poin target pembangunan tersebut masih belum terpenuhi, terutama di negara miskin dan negara berkembang. Pada United Nations Conference on Sustainable Development yang diadakan di Rio de Janeiro pada Juni 2012 lalu, diajukan Sustainable Development Goals (SDGs), yang merupakan kelanjutan dari MDGs (post MDGs) . SDGs memiliki 17 tujuan utama pembangunan, salah satunya tidak adanya kemiskinan di seluruh negara.

Sebagai kota metropolitan Denpasar tidak bisa terlepas dari masalah kemiskinan, hal ini juga dialami oleh hampir seluruh daerah di Indonesia. Selama ini sudah berbagai metode dan ilmu diterapkan pemerintah untuk mengatasi masalah ini, namun belum ada hasil maksimal yang bisa didapatkan. Dari data Badan Pusat Statistik Kota Denpasar menyebutkan pada tahun 2011 jumlah penduduk miskin mencapai 1.450 jiwa, sedangkan pada tahun 2012 menurun sebesar 1.270 jiwa dan pada tahun 2013 meningkat secara signifikan sebesar 1.760 jiwa. Hal ini tentu saja sangat disayangkan mengingat Denpasar merupakan Ibukota Provinsi Bali yang seharusnya mampu mengentaskan atau meminimalisir angka kemiskinan.

Bagaimanakah hal ini bisa terjadi ? Ada beberapa faktor yang saya dapat temukan didalam peningkatan jumlah penduduk miskin di kota Denpasar. Diantaranya angka jumlah penduduk buta aksara yang tinggi di Denpasar sebesar 17.354 jiwa per 846.200 jiwa penduduk atau sebesar 2.05% (sumber:denpasarkota.bps.go.id). Jika dibandingkan dengan kota-kota besar di Indonesia seperti Surabaya yang jumlah penduduk buta aksaranya 21.813 jiwa per 3.200.454 jiwa penduduk (sumber:surabayakota.bps.go.id) atau sebesar 0,7% dan Medan yang jumlah penduduk buta aksara sebesar 17.051 jiwa per 2.097.610 jiwa penduduk atau sebesar 0,8%. Hal ini berpengaruh pada tingkat kemiskinan karena penyandang buta aksara akan cenderung memiliki tingkat produktivitas yang rendah, kebodohan dan keterbelakangan.

Selain itu juga angka pengangguran yang tinggi sangat mempengaruhi meningkatnya kemiskinan di Kota Denpasar. Menurut Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Denpasar pada tahun 2013 mencatat sebanyak 144.348 per 846.200  jiwa penduduk atau hampir mencapai 17% penduduk Denpasar tidak memiliki pekerjaan atau pengangguran. Hal ini menyebabkan penduduk sebagian besar tidak bisa memenuhi kebutuhannya.

Selain itu juga Kota Denpasar ternyata merupakan daerah dengan jumlah penduduk dan penerima migran terbesar. Jumlah penduduk Kota Denpasar tahun 2010 sebesar 788.589 jiwa, dimana penduduk asli (nonmigran) berjumlah 373.172 jiwa sedangkan jumlah penduduk migran sebesar 415.417 jiwa atau sekitar 52,68 persen dari jumlah penduduk total. Hal tersebut menunjukkan bahwa proporsi jumlah migran yang tinggal di Kota Denpasar lebih besar daripada penduduk asli yang tinggal di Kota Denpasar (BPS, 2011). Kondisi tersebut sangat memprihatinkan, karena dengan luas wilayah sebesar 127,78 km2, kepadatan penduduk Kota Denpasar telah mencapai angka sebesar 6.171,46 jiwa/km2. Tingginya jumlah migrasi masuk akan meningkatkan masalah kepadatan penduduk dan dapat menimbulkan pengangguran yang tinggi (Martini, 2013). Kondisi tersebut dapat menimbulkan berbagai masalah sosial dan ekonomi, yang akhirnya mengurangi tingkat kesejahteraan dan munculnya kemiskinan penduduk di Kota Denpasar.

Dalam mengatasi meningkatnya kemiskinan, pemerintah Kota Denpasar harusnya memiliki kebijakan-kebijakan yang tidak hanya berorientasi pada program - program yang bersifat penyelamatan instan tetapi program-program penanggulangan kemiskinan dalam upaya pemberdayaan dan pengembangan kemampuan sumber daya manusia di Denpasar yang meliputi aspek sosial, ekonomi dan prasarana fisik jangka panjang.

Kehidupan masyarakat Bali sangat kental dengan konsep Tri Hita Karana untuk menjaga hubungan harmonis antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesama, dan manusia dengan alam. Salah satu pengertian dari konsep tersebut adalah pembagian wilayah perumahan, desa atau Pulau Bali menjadi tiga bagian, yakni zona spiritual (parahyangan) seperti pura dan gunung; zona sosial (pawongan) yakni areal keluarga/perkampungan/desa; dan zona fisik (palemahan) meliputi daerah pertanian, kebun, kuburan dan sebagainya.

Karena itu, strategi penanggulangan kemiskinan di Bali memerlukan kajian dan pendekatan lokal (kultural) agar tidak menyimpang dari konsep harmonisasi kehidupan demi menjaga terciptanya Ajeg Bali (Bali yang Lestari). Upaya ke arah itu juga tidak bisa lepas dari berbagai hal yang sangat terkait. Adanya kerjasama antara pemerintah daerah, swasta dan masyarakat sipil dalam penanggulangan kemiskinan serta upaya pemberdayaan masyarakat yang bertumpu pada kekuatan kota Denpasar. Selain itu perlu juga dilakukan peningkatan kualitas sarana kesehatan dan pendidikan untuk menunjang penghapusan buta aksara dan gizi buruk di Kota Denpasar yang termasuk indikator kemiskinan. Data dari Badan Pusat Statistik Denpasar, pada tahun 2014 sarana kesehatan di Kota Denpasar terdapat rumah sakit sebanyak 19 buah, puskesmas sebanyak 11 buah dan puskesmas pembantu sebanyak 25 buah. Diharapkan dari segi sarana kesehatan kualitas dan kuantitasnya perlu ditingkatkan pelayanannya dan perlu dilaksanakan program kesehatan gratis, pemeriksaan posyandu dan ibu hamil secara rutin untuk mengurangi masalah kemiskinan dari segi kesehatan.

Sedangkan dari segi pendidikan, terdapat 63 buah sekolah dasar, 66 sekolah menengah pertama, 34 sekolah menengah atas dan 32 sekolah menengah kejuruan. Dari data tersebut, diharapkan peningkatan kuantitas sarana pendidikan, terutama sekolah dasar perlu ditingkatkan untuk mengurangi angka buta aksara yang cukup tinggi di Denpasar. Selain itu untuk menyentuh penduduk dibawah garis kemiskinan bersekolah, perlu dilaksanakan program Wajib Belajar yaitu, pemberian subsidi kepada seluruh penduduk Kota Denpasar agar mengenyam pendidikan secara gratis. Program ini sudah dilakukan di daerah lain seperti Surabaya dan memiliki dampak positif dari segi penurunan angka buta aksara di daerah tersebut. Peningkatan kualitas sarana dan pengajar juga diharapkan mampu mengurangi kemiskinan di Kota Denpasar.

Dan dari segi ketenagakerjaan, perlu dibukanya lapangan pekerjaan dengan cara mendatangkan investor ke Kota Denpasar namun dengan tetap mementingkan Ajeg Bali di dalam proses pembangunan dan pembukaan lapangan pekerjaan. Selain itu juga harus dipersiapkan kualitas para calon tenaga kerja dengan melakukan pelatihan-pelatihan sehingga siap bersaing dengan calon tenaga luar mengingat Indonesia akan menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) pada akhir tahun 2015. Dan untuk menghadapi migrasi yang besar, pemerintah Kota Denpasar perlu melakukan pencatatan pada penduduk pendatang yang jelas agar tidak terjadi penduduk gelap / tidak terdaftar yang dapat meningkatkan kemiskinan di Kota Denpasar.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline