Lihat ke Halaman Asli

Menggemari Dee Berkat Racikan Filosofi Kopi

Diperbarui: 24 Juni 2015   12:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suasana Jalan Sagan yang biasanya lengang sore itu nampak ramai oleh anak-anak muda. Sepenggal jalan di tengah kota Yogyakarta itu sedang menjadi lokasi digelarnya acara Bentang Street Festival (Best Fest). Saya adalah satu di antara sekian banyak anak muda yang hadir di MyOozik Cafe yang terletak di Jalan Sagan. Cuaca yang mendung tidak menyurutkan para pengunjung untuk beranjak dari tempat tersebut. Kami rela berdesak-desakan sekadar ingin menyaksikan talkshow yang menghadirkan Dewi ‘Dee’ Lestari sebagai pembicara. Sudah bisa ditebak, kami yang rela berdiri berjam-jam karena tak kebagian tempat duduk adalah penggemar karya-karya Dee yang ingin bertemu idolanya secara langsung.

Datang terlambat membuat saya tidak bisa berada di barisan depan menyaksikan Dee berinteraksi dan menjawab pertanyaan-pertanyaan penggemarnya. Alih-alih melihat Dee, saya hanya bisa mendengarkan ia berbicara karena terhalang oleh pengunjung lain yang berdiri di depan. Walhasil saya seperti sedang mendengarkan siaran radio. Hari makin sore dan acara pun berakhir. Para pengunjung berharap akan ada acara booksigning dan beberapa dari mereka sudah bersiap membawa buku-buku Dee. Sayangnya ternyata tidak ada sesi booksigning seperti yang diharapkan oleh kami. Dee langsung pulang menuju bandara ditemani suaminya. Raut wajah kecewa terpancar dari para pengunjung yang hadir saat itu.

Bukan kali pertama saya menghadiri acara yang menghadirkan Dee. Lazimnya seorang penggemar, saya selalu ingin datang di setiap event yang menghadirkan Dee. Saya termasuk yang rela antri mengular di toko buku untuk mendapatkan tanda tangannya di sela launching novel terakhirnya, Partikel. Dan setelah bertatap muka langsung dengan Dee sontak saya membatin, iih...Mbak Dee aslinya cantik dan putih banget udah gitu pinter lagi. Norak memang, hehehe.

Sejauh yang saya ingat, novel pertama Dee, Supernova, muncul ketika saya duduk di bangku sekolah menengah. Beberapa kawan di sekolah nampak antusias menyambut novel tersebut. Saya masih abai pada Supernova karena pada waktu itu, jujur saja, i judge a book by its cover. Buat saya waktu itu buku Dee terlihat tidak menarik dan saya malas untuk membacanya. Bahasanya masih terlalu rumit untuk kapasitas otak saya. Selain itu saya tidak tertarik pada tokoh-tokoh supra rasional seperti yang diimajinasikan Dee.

Beberapa tahun kemudian secara tidak sengaja saya dipertemukan dengan Filosofi Kopi. Inilah karya Dee yang mengantarkan saya menjadi kolektor buku-buku Dee. Buku yang memuat kumpulan prosa dan puisi Dee itu resmi membikin saya jatuh hati. Pada waktu itu saya baru tersadar akan intelegensia Dee dalam meramu kata-kata menjadi sebuah cerita. Filosofi Kopi layaknya secangkir kopi yang saya temukan di tengah perjuangan melawan rasa kantuk. Saya tidak hanya menyeruputnya tapi langsung meneggaknya hingga kandas. Setelah itu berturut-turut saya menjadi pemburu karya Dee.

Saya menyukai cara bertutur Dee dalam setiap tulisan-tulisannya. Di Perahu Kertas Dee menulis dengan sangat nge-pop dan membumi. Sebaliknya ia bisa berfikir ilmiah dan analitis ketika menyuguhkan science fiction Supernova yang penuh riset. Oleh karena itu tidak semua karyanya bisa saya pahami dalam sekali baca. Beberapa puisi bahkan perlu dibaca berkali-kali karena pemahaman saya belumlah setinggi personil RSD ini. Mungkin salah satu ‘dosa’ terbesar saya sebagai seorang penggemar adalah hingga detik ini saya belum memiliki Rectoverso dan melengkapi serial Supernova. Saya sudah membacanya dengan status meminjam pada teman dan menyukainya seperti saya suka pada karya-karya Dee yang lainnya. Kini saya sedang dalam perjalanan untuk melengkapi buku-buku Dee. Sebagai penutup saya ambil salah satu tulisan Dee favorit saya yang berjudul Salju Gurun, selamat membaca dan semoga memberi inspirasi:

Di hamparan gurun yang seragam, jangan lagi menjadi butiran pasir. Sekalipun nyaman engkau di tengah impitan sesamamu, tak akan ada yang tahu jika kau melayang hilang.

Di lingkungan gurun yang serba serupa, untuk apa lagi menjadi kaktus. Sekalipun hijau warnamu, engkau tersebar di mana-mana. Tak ada yang menangis rindu jika kau mati layu.

Di lansekap gurun yang mahaluas, lebih baik tidak menjadi oase. Sekalipun rasanya kau sendiri, burung yang tinggi akan melihat kembaranmu di sana-sini.

Di tengah gurun yang tertebak, jadilah salju yang abadi. Embun pagi tak akan kalahkan dinginmu, angin malam akan menggigil ketika melewatimu,oase akan jengah, dan kaktus terperangah. Semua butir pasir akan tahu jika kau pergi, atau sekedar bergerak dua inci. Dan setiap senti gurun akan terinspirasi karena kau berani beku dalam neraka, kau berani putih meski sendiri, karena kau…berbeda.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline