Kengerian akibat Perang Sepoy yang memporak-perandakan Keraton Ngayogyakarta pada 19-20 Juni 1812 digambarkan secara dramatis oleh dalang Wayang Diponegoro, Ki Catur Kuncoro di pendapa Dalem Yudhanegaran, Yogyakarta pada Rebo Paing (29.08.2017) silam.
"Banyu getih neng alun-alun nganti sak kemiri...,"
Banjir darah di Alun-alun Selatan Keraton Yogyakarta dilukiskan secara hiperbolis tingginya semata kaki manusia, kata ki dalang muda (waktu itu ia 42 tahun) asal Kadipiro, Kasihan, Bantul Yogyakarta ini pula. Darah berceceran dimana-mana di keraton Ngayogyakarta...
Lakon Wayang Diponegoro yang dimainkan Ki Catur Kuncoro alias Ki Benyek itu berjudul "Geger Spei". Atau Perang Sepoy yang hanya berlangsung dua hari, ketika pasukan Inggris dari Semarang menjebol tembok benteng Keraton Ngayogyakarta pada 19-20 Juni 1812. Meski hanya dua hari namun dampak kerusakan dan kerugian yang diderita Keraton Ngayogyakarta, yang kala itu diperintah Hamengku Buwana II alias Pangeran Sepuh sungguh parah luar biasa. Baik bagi kondisi fisik keraton, maupun kerugian material, mental, kultural dan spiritual bagi Yogyakarta.
Wayang Diponegoro diciptakan tahun 2016, oleh Gusti Bendara Pangeran Harya (GBPH) Yudhaningrat -- adik Sultan Yogyakarta Hamengku Buwana X --- bersama Rahadi Saptata Abro (keturunan ke-6 Pangeran Diponegoro dari trah Mertonegoro) dan Ki Roni Sodewo (keturunan ke-7 Pangeran Diponegoro dari trah Sodewo). Bentuk wayangnya tidak berbentuk figur klasik, akan tetapi benar-benar figur tokoh era Perang Jawa seperti Diponegoro, Basah Sentot B Prawirodirjo. Sosok tentara pun tentara Belanda, Inggris dengan kendaraan militernya, serta tentara-tentara kerajaan Yogyakarta. Ditatah oleh empu wayang Keraton Ngayogyakarta, Ki Sagio Perwitowiguno. Lakon pun seputar era sebelum Perang Jawa (1825-1830) serta era penjajahan Belanda serta kolonialisme Inggris pada awal abad ke-19.
Sejarawan asal Inggris, Peter Carey yang ikut menyaksikan pagelaran Wayang Diponegoro di dalem Yudhanegaran (2017) tujuh tahun lalu itu menuturkan, bahwa kekejaman yang terjadi selama invasi Inggris ke kraton Yogyakarta itu dilukiskan sungguh kelewat batas. Di antara yang mengerikan, dilukiskan Peter Carey, adalah kematian secara tragis Panglima Perang tentara Yogyakarta, Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Sumodiningrat.
"Dia ditangkap setelah sholat di sebuah langgar dekat rumahnya tak jauh dari Plengkung Nirbaya (alias Plengkung Gading sekarang ini). Rumahnya diberondong peluru. Dan setelah gugur jenasahnya dipotong-potong. Oleh kerabatnya diam-diam jenasah Panglima Perang Yogyakarta ini dikuburkan di pemakaman keluarga Sumodiningratan di Jejeran, Bantul, pada jam 10 malam," ungkap Peter Carey. Kebetulan waktu itu, Peter Carey membawa serombongan tur sejarah dari Jakarta, Semarang, Ambarawa dan Yogyakarta, napak tilas lokasi-lokasi invasi Inggris ke keraton Yogyakarta. Tur Peter Carey adalah dalam rangka peluncuran buku karyanya, "Inggris di Jawa tahun 1811-1816" terbitan Penerbit Buku Kompas (PBK) tahun 2017. Peter Carey juga membawa rombongan itu "nyekar" ke makam Sumodiningrat, di belakang masjid Jejeran, Bantul.
"Mohon maaf atas kesalahan bangsa saya..," kata Peter Carey yang kelahiran Rangoon, Burma 30 April 1948 yang pada usia 7 tahun dulu sempat pindah bersama keluarganya ke Inggris. Peter Carey dalam beberapa kesempatan ceramahnya, sering mengucapkan permintaan maaf seperti ini.
Peristiwa tragis Geger Spei itu juga ditulis rinci dalam "Babad Bedhahing Ngayogyakarta" atau disebut juga "Babad Ngengreng" yang ditulis oleh putra mahkota Bendoro Pangeran Aryo Panular dalam bentuk tembang macapat dari Juni 1812 hingga Mei 1816. Kitab ini menjadi salah satu sumber otentik yang dipakai Peter Carey dalam buku terbarunya kala itu.
Penjarahan besar-besaran pun terjadi di keraton Ngayogyakarta pasca jebolnya tembok kraton. Babad Bedhahing Ngayogyakarta melukiskan, bagaimana arus jarahan selama empat hari terus mengalir tanpa henti menuju kediaman Residen Inggris di Yogyakarta, diangkut menggunakan gerobak-gerobak yang ditarik sapi maupun digotong portir. Pasukan Inggris menjarah naskah-naskah yang tersimpan di keraton untuk dibawa ke Inggris (dan kini tersimpan di British Museum, London).
Jumlah naskah kuno yang dirampas Inggris diperkirakan lebih dari 7.000 buah. Terdiri dari berbagai variasi, dari daftar kepemilikan tanah hingga manuskrip istana. Juga dijarah, perhiasan berharga, keris-keris pusaka kerajaan, perangkat alat musik gamelan di dalam keraton, semua diangkut ke kediaman Residen Inggris. (Sisa-sisa penjarahan, kini masih bisa dilihat, tertinggal separuh perangkat gamelan slendro-pelog di dalem Joyokusuman di lingkungan Keraton Yogyakarta. Yang separuh set lagi kini di British Museum).