Lihat ke Halaman Asli

Jimmy S Harianto

TERVERIFIKASI

Mantan Redaktur Olahraga dan Desk Internasional Kompas

Suksesi Kusut di Keraton Mataram Kartasura

Diperbarui: 17 Oktober 2024   11:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lukisan Pangeran Puger yang nantinya Paku Buwana I menghukum putrinya sendiri, Raden Ayu Lembah dengan cara mencekik lehernya, atas perintah raja Kartasura Amangkurat III. Ayu Lembah, isteri Amangkurat III, dihukum mati karena berselingkuh dengan anak pejabat Kartasura. (KITLV Leiden) 

Seorang raja di Jawa tanpa memiliki pusaka ibarat raja tanpa legitimasi. Pusaka itu tidak harus berupa keris atau tombak. Akan tetapi bisa berupa pelana kuda yang bersejarah turun-temurun, baju kutang atau jaket perang, perhiasan permata, berlian, zamrud, mirah berukuran besar sampai batok kelapa kembar.

Batok kelapa kembar bisa melambangkan dualitas atau kesatuan dari dua hal yang berbeda, seperti langit dan bumi, laki-laki dan perempuan, atau dunia nyata dan dunia gaib. Dalam konteks kerajaan, simbolisme ini bisa dianggap sebagai cerminan harmoni dan keseimbangan yang harus dijaga oleh seorang raja atau pemimpin.

Simbol-simbol kekuasaan itu harus ada di tangan raja Jawa di masa lalu, jika ia harus mewarisi kekuasaan dari pendahulunya. Tanpa pusaka turun-temurun itu, maka di mata kerabat kerajaan dan rakyat, raja tersebut dianggap tidak layak dan bahkan boleh dikata tidak sah menjadi raja.

Pada era tertentu, banyak pusaka turun-temurun yang raib dilarikan raja terdahulu karena berkecamuknya Perang Suksesi. Salah satu Perang Suksesi yang fenomenal di era kerajaan di Jawa terjadi di era Kartasura. Dan Perang Suksesi atau yang disebut juga sebagai Perang Tahta Jawa yang pertama itu terjadi saat Amangkurat III dengan Pangeran Puger. Pangeran Puger dan pengikutnya memutuskan memberontak terhadap keponakannya, Amangkurat III yang baru saja naik tahta setelah kematian ayahnya, Amangkurat II (1703). Amangkurat III alias Adipati Anom adalah satu-satunya putra mahkota Amangkurat II karena ibunya telah mengguna-gunai isteri-isteri sang raja lainnya sehingga pada mandul dan tak berketurunan.

Sementara Pangeran Puger dia adalah adik Amangkurat II yang menurut kalangan keraton di Kartasura, dinilai lebih layak dan pantas menjadi raja ketimbang sang putra mahkota. Perang suksesi antara Pangeran Puger yang juga didukung banyak kalangan di luar keraton ini melawan Amangkurat III terjadi antara 1704-1708. Perebutan kekuasaan Mataram itu dimenangkan oleh Pangeran Puger yang dibantu oleh mitranya, Kumpeni.

Kumpeni (VOC, Vereenigde Oost-Indische Compagnie) didirikan pada tahun 1602 oleh pemerintah Belanda dengan tujuan menguasai dan memperdagangkan rempah-rempah yang berlimpah di wilayah Asia Tenggara, khususnya di wilayah Hindia Belanda dan kerajaan-kerajaan Nusantara modern. Pada saat itu, rempah-rempah seperti cengkeh, kayu manis, dan lada sangat berharga dan menjadi komoditas yang sangat dicari di pasar Eropa. VOC didukung oleh investasi pemerintah Belanda dan memiliki monopoli de facto dalam perdagangan rempah-rempah di wilayah tersebut. Kumpeni dijalankan oleh tujuhbelas direktur yang disebut Heeren Zeventien yang merupakan perwakilan dari enam kongsi dagang (kamers) dari Amsterdam, Zeeland, Delft, Rotterdam, Hoorn, dan Enkhuizen. Markas besar Dewan Tujuh Belas Tuan ini berkedudukan di Amsterdam, Belanda. Para tuan besar ini memanfaatkan kelemahan para raja Jawa, yang sangat sering terlibat perang karena perebutan kekuasaan. Bahkan di antara keturunan-keturunan raja sendiri.

Raibnya Pusaka-pusaka Mataram

Sebegitu pentingnya pusaka kerajaan sebagai lambang kedaulatan dan bahkan legitimasi raja, sampai-sampai Perang Suksesi di Kartasura ini sangat diwarnai dengan perebutan pusaka. Dan perebutan pusaka di sini dilukiskan sebagai rebutan beneran, dan bahkan diwujudkan dalam bentuk peperangan saudara.

Sejak akhir abad ke-16, Mataram Islam yang berkembang di Jawa ini memiliki berbagai pusaka lambang kekuasaan raja, tidak hanya terbatas pada keris, pedang dan tombak saja. Akan tetapi juga mahkota dari Majapahit, perlengkapan berkuda, seperti pijakan kaki kuda milik raja pendahulu. Dan bahkan juga sebuah bende (semacam gong atau genta kecil bersejarah yang dulu berfungsi sebagai tanda pemberitahuan akan ada titah raja pada rakyat).

Hilangnya pusaka-pusaka lambang legitimasi raja Mataram ini dilukiskan cukup rinci oleh sejarawan Australia kelahiran Amerika Serikat, MC Ricklefs (1943-2019) dalam artikel sejarahnya "The Missing Pusakas of Kartasura, 1705-37" terbitan Monash University, Clayton, Victoria, Australia (1980). Termasuk daftar nama dan jenis pusaka Mataram yang hilang itu, serta siapa saja yang menghilangkan dan memperebutkannya.

Amangkurat III alias Mas Sutikna satu-satunya pewaris tahta Mataram sepeninggal Amangkurat II itu juga dijuluki Pangeran Kencet. Karena ia menderita cacat di bagian tumitnya (kencet: tumit. Jw). Menurut kisahnya, Mas Sutikna alias Pangeran Kencet berwatak buruk, mudah marah, pencemburu jika melihat pria lain lebih tampan darinya. Dan ketika menjabat sebagai Adipati Anom -- calon pewaris tahta Mataram -- ia menikahi sepupunya sendiri, Raden Ayu Lembah putri dari Pangeran Puger. Namun isterinya itu kemudian dicerai, karena isterinya itu berselingkuh dengan Raden Sukra putra Patih Mataram, Sindureja. Raden Sukra kemudian dibunuh utusan Mas Sutikna, sedangkan Pangeran Puger dipaksa menghukum mati Raden Ayu Lembah, putrinya sendiri. Mas Sutikna kemudian menikahi Ayu Himpun, adik Ayu Lembah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline