Cak Nun pagi itu memberi waktu pada kami cukup longgar untuk ngobrol di Wisma Maiyah, markasnya di Yogyakarta pada 26 Maret 2022. Ada kalau cuma dua setengah jam kami berbincang.
Kami sengaja minta waktu pada Emha Ainun Najib, untuk wawancara khusus dalam rangka penulisan buku biografi tokoh televisi nasional Ishadi SK yang dia kenal, ketika Ishadi menjadi Kepala Stasiun Televisi Yogyakarta antara tahun 1985-1987. Sengaja saya ajak isteri, agar obrolan dengan Cak Nun bisa berlangsung lebih lunak, tak hanya soal politik keras. Saat wawancara dilakukan, belum ramai dan viral soal Cak Nun mengatakan Presiden Joko Widodo, Firaun.
Sehari sebelumnya, 25 Maret 2022, Cak Nun dan kelompok teater serta gamelan Kiai Kanjengnya sibuk sekali berpentas di Taman Budaya Yogya tak jauh dari Pasar Beringharjo. Ishadi, yang akrab dipanggilnya Pak Is, sehari sebelumnya bahkan diminta nonton latihan terakhir pentas teater Cak Nun, bertajuk "Nglungsungi" (Berganti Kulit) yang meriah dengan kritik politik. Termasuk pula peran lakon di pentas yang "mirip" dimiripkan karakter Jokowi.
Juga ikut nonton teater di Taman Budaya Yogya petang di akhir Maret itu, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti yang rupanya juga tengah berada di Yogya bermaksud wawancara dengan Cak Nun, alias Mbah Nun. Bu Susi mengundang Cak Nun untuk bersedia diwawancara di Pangandaran, Jawa Barat untuk acara Bu Susi di televisi.
Apapun kritiknya, yang jelas sore itu penonton Taman Budaya Yogyakarta terhibur. Termasuk pula mantan Menteri Susi Pudjiastuti, malah memberi sambutan setelah pentas usai, meskipun Susi pun tak lepas dari kritik di pentas. Karena Bu Susi juga pernah jadi bagian dari kabinet Jokowi. Musik Kiai Kanjeng regeng, lelucon satirnya gayeng, dan para pemeran pun tampil di akhir pentas menyambut Susi Pudjiastuti, dan tentunya juga Ishadi yang nonton sampai usai di baris depan bangku Taman Budaya.
Esok harinya, kami diberi waktu khusus dua jam lebih, ngobrol di Wisma Maiyah tempat pusat kegiatan Cak Nun atau Mbah Nun dengan para pengikutnya di Yogyakarta. Duduk ngobrol dengan kami pun Cak Nun santai, berjegang kaki di kursi tamunya.
Pengagum Pak Is
Dalam wawancara di Wisma Maiyah itu, diam-diam seniman, penulis dan budayawan "mbeling" ini rupanya 'pengagum' Pak Is juga. Di media televisi, kata Cak Nun, Ishadi SK ini tiada duanya.
"Jadi kalau ada orang yang paling berjasa pada televisi Indonesia sebagai sebuah entitas yang lengkap, tidak hanya sebagai sebuah industri, ya beliau ini orangnya," ujar Emha, "Pak Ishadi itu panembahannya televisi...,"
Ketika Ishadi menjadi Kepala Stasiun Televisi Yogyakarta 1985-1987, dan melakukan pembaruan siaran lokal -- tak lagi mengutamakan "siaran relay pemerintah pusat" dan membalik komposisi dari semula 80 persen siaran relay pemerintah pusat, menjadi 80 persen siaran lokal Yogya saat itu, Emha dan juga budayawan Yogya lainnya saat itu masih banyak yang berusia 30an. Emha dikenal dengan karya-karya mbelingnya, sementara Butet Kartaredjasa selain bergiat di Teater Gandrik yang sering pentas di Jakarta, juga saat itu Butet menjadi "kuli tinta" (wartawan) untuk majalah televisi terbitan Jakarta, Monitor...