Lihat ke Halaman Asli

Jimmy S Harianto

TERVERIFIKASI

Mantan Redaktur Olahraga dan Desk Internasional Kompas

Apa Kiat Menghadapi Media Partisan?

Diperbarui: 23 Juni 2015   22:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi/Admin (KOMPAS.com)

[caption id="" align="aligncenter" width="624" caption="Ilustrasi/Admin (KOMPAS.com)"][/caption]

Saudara-saudara sebangsaku ini memang memiliki perangai yang lucu: di saat tiada kebebasan hidup, karena hajat hidup dijajah para kolonialis, eh, pada perkembangannya kemudian negeriku ini dijajah bangsa sendiri, dijajah pemimpin-pemimpin lalim. Pemimpin yang porsi besarnya mementingkan kepentingan sendiri, keluarga, atawa golongannya.Demikian pula kehidupan pers-nya. Dulu saat “dijajah” sebuah orde dan kebebasan pers diberangus, kita berkoar-koar menuntut kebebasan pers. Tetapi kini? Saat kebebasan sudah di tangan? Eh, malah kehidupan media dijajah pemimpin pers sendiri. Pers menjajah diri sendiri. -Oleh Jimmy S Harianto

Pelajaran termutakhir dari kehidupan media kita, pers kita saat ini, adalah “bagaimana para pembaca harus pintar-pintar memilah, dan memilih, mana berita partisan, mana berita sampah, dan mana berita yang bervitamin bagi kehidupan kita berbangsa,”

Hai para pemimpin media, jangan mentang-mentang kalian memiliki modal dan kekuasaan atas media kalian, kau pikir kami para rakyat pembaca ini bisa kalian atur-atur? Jangan mentang-mentang uang kalian dan kekuasaan kalian bisa “meramu berita” sembari mengucurkan keinginan politik kalian melalui para redaktur, maka pembaca kau pikir tak berdaya?

Awas saja kamu. Aku, pembaca, memiliki kekuasaan di ujung jariku. Aku bisa memainkan jariku untuk menghindari kucuran keinginan politikmu di layar televisi, di kertas-kertas koranmu, ataupun di layar komputer. Aku, pembaca, bisa menentukan keinginanku sendiri untuk memilih: mana beritamu yang layak dibaca, mana liputanmu yang layak ditonton, dan mana berita maupun liputanmu yang langsung kugelontorkan ke kotak sampah. Tinggal kualihkan tatapan mataku, melalui tombol-tombol remote di tanganku. Beres sudah. Maka aku tak terkontaminasi niat politikmu, dengan hanya memainkan jariku.

Atau, jika aku harus menghadapi “status-status hitam” dan “status-status negatif” di sosmed – status-status yang bernada kepanjangan para penguasa politik, tinggal kita bersikap: diam tak menanggapi, atau kalau perlu, pencet saja “dislike”. Atau alihkan saja ke status-status yang lebih cocok di hati kita. Dan berceloteh sesuai hati nurani kita.Pembaca, saat ini tengah menikmati sebuah euforia kebebasan, untuk memilah dan memilih, mana berita sampah, mana berita bervitamin bagi diri kita. Kami tidak menelan mentah-mentah seluruh produk mediamu.

Situasi kehidupan pers, kehidupan media massa pada masa kini memang serba terbalik-balik. Justru di saat kehidupan media diberi kebebasan, eh, malah para raja media menggunakan kekuasaan untuk mengendalikan media, sesuai keinginan pribadi para boss media, sesuai kepentingan politik udel dia. Terkungkung lagi dah, kebebasanmu...

Kilas balik Pers Orba

“Piye? Enak zamanku to?” Demikian seloroh populer stiker-stiker masa kini, humor politik masa kini yang banyak tertempel di kaus-kaus oblong merakyat di pinggir trotoar Malioboro, di Jogjakarta, dan berbagai penjuru Nusantara. Gambar Bapak Soeharto pun tersenyum lebar, menebar senyum. Senyum khas Orde Baru...

Apakah pers pada masa “Jendral yang Banyak Senyum” itu seenak yang kalian bayangkan, hai para pembikin kaus oblong laris? Apakah kehidupan pers waktu itu sedemikian “ayem tentrem” seperti yang kalian gembar-gemborkan?

Tidak demikian juga. Pada masa itu, wartawan harus pintar-pintar memilih kata-kata kritis, agar bisa lolos dari tangan redaktur, dan sajian berita kritis bisa tersaji pada para pembaca. Supaya para pembaca tersenyum, melihat sebuah pemberitaan yang “kritis tetapi tidak menohok”. Bisa juga, mengangkat besar-besar di halaman koran, berita-berita manca negara seperti pergolakan di Filipina, pada saat Marcos digulingkan oleh “Kekuasaan Rakyat” (People’s Power). Mengekspose Ibu Negara Imelda Marcos yang saat itu begitu menampilkan sosok “Maria Antoinette” di masa menjelang Revolusi Perancis.

Akibatnya? Penguasa negeriku waktu itu tersungging, eh, tersinggung. Sempat ada larangan halus, melalui institusinya Departemen Penerangan tentunya, agar “tidak mengekspose berlebihan, atau membesar-besarkan pergolakan politik di negeri sebelah...,” Ibu Negeri juga tersungging, eh, tersinggung dengan tema-tema ekspose berlebihan soal Imelda Marcos, yang memiliki koleksi ratusan sepatu, modis dan ikut menyetir kekuasaan negeri melalui penampilan elegan dia.

Pemandangan di Ruang Redaksi kami yang luas bak hangar pesawat? Wah, ada lembaran panjang kertas dari rol mesin cetak yang dipajang, ditempel di dinding, di papan tulis putih. Lengkap dengan tulisan imbauan dari pemerintah, pejabat pemerintah, aparat Kopkamtib, aparat Kepolisian, dan segala macam penguasa dan yang merasa diri penguasa – tentang apa yang tidak boleh diberitakan, dan apa yang tak boleh dipublikasikan. Hopo tumon sekali kok, para pejabat zaman “Jendral yang Banyak Senyum” itu. Pada “lebay” semua...

Sempat bahkan, media tempatku kerja “diberangus”. Dua minggu lamanya tidak boleh terbit, sampai para awak media dihadapkan pada situasi ketar-ketir: jangan-jangan nanti anak dan istri tidak bisa makan? Lantaran koran “dibreidel” alias dibrangus selama-lamanya? Sampai suatu ketika, media tempatku kerja diperbolehkan lagi terbit, tentu, dengan persyaratan: “asal ini, asal itu, asal begini, asal begono....,”

Departemen Penerangan waktu itu menjadi sebuah lembaga yang menakutkan bagi media. Setiap dering telpon dari lembaga ini ke meja redaksi, membuat hati para pemilik surat kabar menjadi dag-dig-dug. Ribuan himbauan dan larangan harus ditelan kalangan pers, dari hari-ke-hari, pada zaman “Jendral yang Banyak Tersenyum” yang kamu sebut “zaman enak” itu...

Media Masa Kini

Ketika “Bapak Jendral yang Banyak Tersenyum” itu mempercepat kunjungannya di luar negeri, karena pergolakan di Tanah Air makin memanas, dan kemudian mengumumkan: “Saya menyatakan berhenti....,”pada 21 Mei 1998, maka Republik ini diliputi euforia kebebasan. Dari kebebasan politik, sampai kebebasan pers, dan bahkan kebebasan politik yang kebablasan...

Maka bangsa inipun mereguk apa yang dilukiskan sebagai euforia kebebasan politik, dari hari ke hari. Demikian pula media, pers, televisi. Dari semula harus menghadapi jalan berbelit-belit, harus mengurus perizinan untuk pemberitaan, berubah menjadi bebas-sebebas bebasnya. Tidak perlu Surat Izin Terbit yang penuh liku dan duit lagi. Setiap orang bisa mengungkapkan apapun, di media mereka. Bahkan setiap orang bisa bikin media!

Apakah kebebasan sepenuhnya direguk? Ternyata belakangan ini tidak demikian. Di masa Pemilu Legislatif Maret dan April 2014 lalu, mulai merebak gejala: media dikuasai pemilik media yang berpolitik. Mulai bermunculan kampanye-kampanye terselubung di balik liputan televisi, di media yang boss-boss medianya berkampanye untuk kepentingan golongan, diri sendiri, maupun afiliasi politiknya.

Makin menjadi-jadi pembelengguan media ini di era Pilihan Presiden (Pilpres) menjelang 9 Juli 2014 kali ini. Secara terang-terangan, para pemilik media yang menjadi juru kampanye para capres dan cawapres, mengendarai media televisi mereka untuk mencapai keinginan politik mereka.

“Warna” Jokowi dan Jusuf Kala, terlihat jelas di Metro TV, meski masih cukup elegan cara penyajiannya. Maklumlah, Surya Paloh ada di balik tim sukses Jokowi-Jk. Terasa pula oleh rakyat pendengar, dan penonton televisi bahwa TVOne milik penguasa Golkar Aburizal Bakrie mulai ber”Prabowo-Hatta” ria dalam program-program televisinya. Demikian pula, sesekali, dan mungkin juga sering, AnTv. Sepanjang hari -- tentunya, setelah Capres Aburizal tak jadi berkoalisi dengan Jokowi and his geng, dan memilih menyeberang ke kubu Prabowo-Hatta.

Penyiaran partisan, yang disebut sebagai kalangan politisi sebagai “serangan udara” itu, juga terjadi di televisi-televisi MNC Group, terutama setelah boss mereka Hary Tanoesoedibjo tak lagi bergabung dengan mitra politiknya, Wiranto dari partai Hanura. Lantaran Hanura dengan Wiranto, “menyeberang” ke kubu PDI Perjuangan, kubunya Jokowi-JK. Pemberitaan-pemberitaan bias pun harus ditelan masyarakat Indonesia. Mau tak mau. Lha wong boss media itu yang menggaji karyawan-karyawan awak medianya.Kok mau diprotes?

Masih lumayan, ada media-media televisi yang masih netral dan “cover both sides” seperti Berita Satu. Juga Kompas TV. Masih ada candaan-candaan politik, dan humor politik akibat pertentangan kubu yang terungkap di televisi netral Berita Satu, misalnya. Dialog-dialog politik yang mengetengahkan dua kubu “berseteru” (kesannya memang berseteru beneran di mata publik), menjadi salah satu tayangan menarik. Lebih menarik ketimbang nonton sinetron...

Jika boleh mengingatkan, hai para raja media, dan raja politik. Saat ini rakyat penonton tidak lagi bodoh, atau bisa dibodoh-bodohi lagi. Rakyat memiliki kekuasaan di ujung jari mereka. Meski bukan kekuasaan uang, atau kekuasaan politik, akan tetapi ujung jari mereka bisa menekan tombol, agar kalian enyah dari pemandangan mereka di layar televisi, atau di layar komputer. Rasakan pula akibatnya nanti, di masa datang, bahwa apa yang kalian lakukan atas media massa kalian, akan sulit kalian hapus di masa datang. Kalian telah menulis dengan huruf tebal, label kalian sendiri. Tak terhapuskan dengan hanya pernyataan. Kalian telah menulis dengan tinta tebal, stigma Anda sendiri di masa mendatang. Stigma itu akan terus melekat erat, sulit dilepas dari “jidat” media Anda. Camkanlah... *




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline