Lihat ke Halaman Asli

Konfrontasi Saksi Adalah Premanisme Pengadilan

Diperbarui: 25 Juni 2015   08:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13305622791249555962

Mungkin tak terbilang lagi pihak yang amat-amat dikecewakan dengan kondisi yang terjadi pada lanjutan sidang kasus suap Wisma Atlit Sea Games Palembang kemarin, Rabu, 29 Februari 2012 dengan tersangka utama M. Nazaruddin. Jauh-jauh hari sebelumnya telah diagendakan bahwa para saksi antara lain Angelina Sondakh (AS) - yang adalah juga telah ditetapkan oleh pengadilan sebagai tersangka dalam kasus yang sama- dan saksi lain untuk kasus ini, Rosa Mindoro Manulang  (RMM) - yang adalah juga sudah sebagai terdakwa kasus suap -, akan dikonfrontasi satu terhadap yang lain. Beredar kabar bahwa yang utama perlu dikonfrontasi antara saksi AS dan RMM adalah soal percakapan BBM antara keduannya dimana dalam percakapan-percakapan itu muncul istilah atau sandi-sandi hebat seperti apel malang dan apel washington, bos besar, ketua besar dan lain-lain persoalan yang jelimet. Namun apa daya, nampaknya semua pihak yang mengikuti persidangan-persidangan perkara ini seolah kecewa mendalam karena salah satu saksi yaitu RMM tidak dapat hadir karena alasan sakit. Kecewa bukan terutama karena Rosa tidak jadi hadir dalam sidang kemarin itu, tapi karena acara konfrontasi di tengah-tengah sidang top news ini tidak jadi, batal atau malah kini tidak pernah akan terjadi lagi. Mengapa sampai-sampai publik -apalagi para pemangku kepentingan atas perkara dan sidang itu - begitu kecewa karena 'show' tentang konfrontasi para saksi itu arena pengadilan perkara yang membelit kian suram MN itu tidak terjadi? Publik kecewa karena sudah ada agenda dan terutama agenda konfrontasi AS dan RMM akan secara gamblang akan menyingkap tabur gelap apel malang itu siapa yang terima dan bagi-bagikan. Seolah-olah adegan konfrontasi kedua saksi wanita cantik itu, yang satu dalam status tersangka sedangkan yang lainnya sebagai terdakwa, akan membeberkan dengan terang-benderang siapa penikmat apel washington dan secara 'wah' akan menyentil dengan kasat mata siapa si tuan bos besar atau tuan ketua besar. Acara konfrontasi yang digadang-gadang akan terjadi berkat dan atas desakan serta permintaan (atau tepatnya pemaksaan kehendak?) dari pihak MN dan utamanya karena 'kepintaran dan kenakalan' para penasehat MN itu betul-betul seperti 'angin surga' yang akan membuat fresh aroma persidangan kasus ini yang nampak kian sumpek dan berkabut tebal misteri rupa-rupa kepentingan anonim. Acara konfrontasi dalam sidang ini digadang-gadang akan memberikan kejelasan bahwa AS itu berbohong tidak punya BB sebelum akhir tahun 2010, bos besar adalah si A dan ketua besar adalah nyata-nyata si B dan apel malang itu jumlahnya sekian untuk si C sedangkan apel washington itu sekian jumlah untuk si D, ternyata pupus di tengah asa karena Mindo tidak datang. Apa daya ia sakit. Publik mengantang asap tebal dengan segala harapan indah yang telah digembar-gembor oleh media, utamanya oleh pihak MN dan para pengacaranya. Sebagai manusia rasional patut kita bertanya-tanya, andaikan AS berbohong tentang BBM-nya dengan RMM maka andaikan pula RMM  datang kemarin, lalu hakim bertanya kepada RMM apakah Ketua Besar itulah adalah salah satu ketua umum partai pemenang pemilu 2009 dan RMM katakan benar, maka siapakah hakim yang sebenarnya? Menurut saya RMM-lah hakimnya. Begitupun sebaliknya jika AS membantah RMM terhadap persoalan dan pertanyaan yang sama, maka siapakah hakim pemutus siapa yang salah dan benar dalam hal ini? Saya pikir AS-lah hakimnya, dan tuan hakim dan tuan-tuan majelis hakim yang duduk manis serta anggun itu hanya etalase manusia berpendidikan hukum yang mati pikiran, rasa dan nuraninya. Lalu media dan publik yang menonton sidang itu mulai lebih amat kacau lagi dari kondisi yang sudah kacau sekarang: koran satu bilang AS bohong karena RMM bilang AS bohong, sedangkan  yang lain sebarkan berita 'hebat' sebaliknya bahwa RMM bohong karena AS bilang RMM bohong. Dan seluruh permirsa media massa dihibur oleh berita-berita bohong, karena pekerja media juga kehilangan selera berbahasa dan berlidah penuh nurani bersih. Jika para saksi di konfrontasi dalam sidang maka yang terjadi sebenarnya hanyalah upaya-upaya para saksi itu untuk saling 'membacok' pernyataan, saling 'melempar rumor dan isu sadis serta saling 'menikam' kepentingan di luar jalur hukum, rasa keadilan dan penghargaan atas sesama. Tidak ubahnya saling melempar batu antara geng yang satu dengan geng lainnya karena ada anggota geng masing-masing berselisih pembagian upeti uang parkir. Tidak ubahnya upaya-upaya saling membacok dengan pedang tajam antar para petikai di atas lahan sengketa antara dua pebisnis besar di wilayah bisnis emas dan platinum. Majelis hakim dituntut oleh permintaan dan kebiasaan salah untuk meminta para saksi dikonfrontasi dalam sidang perkara sehingga majelis hakim dapat dipandang sebagai geng lain yang tidak mau tahu pertikaian yang terjadi antara geng satu dengan geng lainnya. Para hakim akhirnya jadi geng penonton yang lebih baik menghindari resiko daripada berani ambil resiko karena dibekali kompetensi hukum yang mumpuni, rasa keadilan manusiawi yang tinggi dan nurani mahasuci yang menghantar tuan-tuan hakim itu kepada pertanggung-jawaban sosial, dan terlebih kepada si mahaempunya keadilan dan kebenaran itu sendiri yaitu Tuhan Yang Mahaesa. Konfrontasi saksi tidak ubahnya premanisme karena sebenarnya dalam KUHP tidak dikenal dan tidak diatur tentang konfrontasi saksi dalam persidangan. Alasan utama permintaan konfrontasi AS dan RMM dalam sidang dalam asumsi para pengacara MN adalah karena di kepolisian sudah ada jutaan praktek dan kebiasaan untuk mengkonfrontasi para saksi perkara dan di saat yang bersamaan walau KUHP tidak mengatur konfrontasi para saksi dalam sidang maka bukan berarti itu dilarang. Rasionalisasi demikian secara etis tidak tepat sebab itu hanyalah upaya amat lalim untuk membenarkan kebiasaan-kebiasaan salah di kepolisian dan coba diadaptasikan ke ruang sidang pengadilan, dan bukannya berikhtiar untuk mulai membiasakan diri dengan hal-hal benar dalam upaya hukum mencari kebenaran dan keadilan.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline