Lihat ke Halaman Asli

Rumah Betang, Sitz Im Leben Dayak Dan FPI

Diperbarui: 25 Juni 2015   19:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13298188041513334693

Kejadian rombongan yang terdiri dari beberapa pengurus FPI 'dilarang' menginjakkan kakinya di Palangkaraya,  Kalimantan Tengah, pada beberapa hari lalu guna meresmikan kepengurusan organisasi itu menimbulkan dua kisah utama, yaitu kisah pihak yang mengalami penolakan oleh masyarakat setempat dan kisah versi masyarakat setempat yang umumnya berlatar-belakang kebudayaan dan suku Dayak.

Kisah yang satu amat membuat kita rasa miris seperti diiris kesedihan karena ditinggal kekasih hati terkasih, mungkin selamanya. Antara lain timbul cerita yang menggambarkan bahwa masyarakat itu amat 'negatif', antara lain bisa disebut sebagai para kafir. Tentu kisah seperti itu amat patut kita sayangkan dan mudah-mudahan tidak terjadi lagi. Suku atau manusia manapun tidak ingin dikisahkan sebagai manusia dan sekelompak masyarakat yang kafir, apalagi jika kafir ini secara amat dangkal dipahami antara lain dalam arti "halal" darahnya. Dalam catatan sejarah muslim, kata kafir sangat membantu manusia untuk makin berbakti pada yang mahakuasa karena diartikan dalam konteks toleransi dan sama sekali tidak ada unsur agama atau kepercayaan tertentu. Termasuk dalam kisah ini adalah dikatakan bahwa masyarakat pemrotes adalah seperti para preman yang mungkin hasil asuhan serta binaan oleh salah satu pejabat publik tertentu. Termasuk dalam kisah pertama ini adalah sebutan atau analisa tak bertuan yang secara amat memprihatinkan mau menyimpulkan bahwa penolakan ala  "preman" oleh masyarakat dengan mengacungkan senjata tajam adalah dimaksudkan untuk mengancam dan sejenisnya. Masih dalam kisah pertama ini adalah tuturan dan pemikiran tak bertuan lain yang ingin menjustifikasi bahwa keberadaan FPI di tanah Dayak amat penting dan berguna dalam menyelesaikan masalah agraria.

Sedangkan kisah yang satunya tidak kalah akan membuat kita tertegun, mungkin kaget dan mungkin pula berpotensi positif yaitu melahirkan kesadaran baru bahwa persoalan sekecil apapun harus sesegera mungkin ditangani sebelum memama-biak menjadi kengerian alam bawah sadar. Masalah yang ditumpuk terus adalah bayangan hitam yang dapat membuat pikiran dan hati kalut pribadi dan kelompok, sehingga yang menyembul tinggal luapan emosi tak tertahan. Apalagi ini dalam konteks massa. Dalam kisah yang kedua ini juga termasuk justifikasi yang mau mengatakan bahwa aksi penolakan masyarakat terhadap suatu kelompok tertentu hanyalah murni aksi spontan. Dan yang tak kalah seru adalah tuturan kisah yang mau mengatakan bahwa mana mungkin dalam negara hukum apabila terdapat masalah agraria di tengah masyarakat harus dilaporkan atau ditangani oleh organisasi yang bukan penegak hukum. Bukankah masyarakat memiliki daya preventif  ketika dengan amat baik berhasil merekam dalam alam sadarnya tentang 'track-record' destruktif  kelompok-kelompok yang dapat mengacam kenyamana sosio-kulturalnya?

Apabila terdapat 2 (dua) kisah utama seperti kisah FPI dan masyarakat Dayak di Palangkaraya itu maka amat penting untuk melihat dan memahami betapa pentingnya sebuah Sitz Im Leben (bahasa Jerman), khususnya dalam masyarakat suku Dayak. Padanan istilah ini dalam segala bahasa hampir mustahil tepat sehingga lebih banyak dipakai sekarang dalam bahasa aslinya saja. Orang Inggris atau berbahasa Inggris sering menyebutnya 'life-setting' atau kita bisa sebut saja 'kedudukan dalam hidup'. Secara lebih luas dapat dibahasakan: apa kedudukan sebuah kisah dalam hidup suatu masyarakat?. Istilah ini mula-mula muncul dalam teologi (kristiani utamanya), namun kini banyak dipakai di bidang sosiologi. Misalnya dalam teologi atau lebih khusus lagi pada ilmu tafsir kitab suci, ada beberapa pokok atau tema dalam kitab suci perjanjian lama (kristiani) yang hanya dapat dipahami apabila kita menghubungkan sebuah kisah atau cerita itab suci itu dengan kebudayaan dan kehidupan sosial Israel Kuno tertentu. Dalam masyarakat Israel Kuno misalnya ada bahan omongan atau kisah yang berangkat dari konteks peribadatan masyarakatnya. Begitupun yang terjadi denganj kisah-kisah kitab suci yang bernuansa perang, pertikaian dan pertentangan atau kasih sayang.  Semuanya dapat dirunut kembali kepada apa kedudukan peristiwa-peristiwa hidup dalam masyarakatnya. Hal inilah yang disebut dengan Sitz im Leben atau kedudukan kisah dalam konteks hidup sebuah masyarakat. Ciri atau karakter khusus situasi masyarakat menentukan kisah-kisah yang muncul dan hidup dalam masyarakat. Apa yang dialami oleh FPI dan masyarakat Dayak di Palangkaraya bukan terutama soal siapa yang benar atau kelompok mana yang lebih berhak untuk menentukan keberadaannya di tanah Dayak. Bukan terutama masalah agraria atau dakwah atau masalah hukum. Apalagi ini bukan soal pertikaian atau sengketa sosial atas nama agama dan budaya. Yang utama dan paling diperlukan oleh semua pihak adalah Sitz Im Lebem orang Dayak dapat dipahami dan dihormati. Saya ambil salah satu contoh yaitu ketika agama Semawi mulai masuk ke Kalimantan tidak ada penolakan, ataupun pemaksaan untuk memeluk suatu agama manapun. Di dalam satu keluarga bisa terdapat beberapa agama berbeda yang dijalankan oleh masing-masing anggota keluarga itu. Itulah salah satu buah warisan mahaagung dari falsafah "Rumah Betang" yaitu Rumah Panjang. Dalam Rumah Panjang , semua keluarga besar tinggal di dalam rumah yang sama dan saling berinteraksi dan membantu. Tidak ada demarkasi agama di dalamnya. Stigma terhadap orang Dayak yang masih menganut agama "helo" / "tatu hiang" (agama leluhur) sebagai "heiden"/ "kafir" adalah pengaruh politik devide et impera saja. Namun berkat falsafah Rumah Panjang ini semua secara budaya dapat saling dipersatukan. Rumah Betang itu amat indah. Sungguh keren. Ceritanya juga amat membanggakan, pun siapa saja yang sama sekali belum mengerti kedudukannya dalam budaya Dayak. Namun pada akhirnya toch Rumah Bentang/Rumah Panjang itu tidak hanya penting dibangun dan ada di tengah-tengah masyarakat Dayak, karena Rumah Panjang itu bisa menjadi falsafah hidup siapa saja,-pun FPI dan utamanya bagi kita semua sebagai pemilik warisan budaya Nusantara yang mahakaya. Rumah Betang tidak perlu lama-lama membangunnya di dalam diri manusia Nusantara, apalagi tidak perlu kayu-kayu besar dan keras khas Kalimantan yang begitu kokoh dan tahan lapuk, karena di rumah hati kita saat disitulah Rumah Betang kita bangun dan tinggali. Salam damai.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline