Perkenalanku dengan dr. Terawan karena beliau diundang menghadiri seminar terkait dengan pengalamannya di bidang kedokteran di Tokyo. Dia didampingi isteri dan satu lagi dokter yangg juga didampingi isteri.
Pertemuan jamuan makan malam sederhana itu sangat menyenangkan karena para dokter kita itu sangat ramah. Tibalah pada pertanyaan klasik yakni berapa lama berada di Tokyo dan kapan akan kembali ke Jakarta.
Jawaban dokter Terawan yang selalu senyum mengatakan, "Rencananya tiga hari Pak, sekalian jalan2 dengan isteri dan teman baik. Tapi kalau ada panggilan dari Jakarta, sekarang pun saya harus kembali."
Saya menatap isterinya dan dengan nada bergurau saya bertanya, "Benar Bu, kalau ada panggilan sekarang Pak Terawan akan pulang dan ibu ditinggal?"
Belum sempat dijawab isterinya Pak Terawan menimpali, "Dia sudah biasa Pak Jonny." Senyum indah dari suami isteri itu menghiasi ruangan di musim dingin itu.
Lalu temannya yang juga dokter ikut mendukung. "Kami sejak dulu sudah sepakat dengan dokter Terawan semasih diperlukan kita akan lakukan yang terbaik."
Setelah berbincang-bincang banyak termasuk tentang kontroversi yang dihadapi saya mendengar bahwa pasien dokter Terawan bukan hanya dari Indonesia.
"Tidak tahu Pak dari mana mereka tahu tapi ada pasien kita dari Spanyol." Saat itu dokter Terawan menjelaskan bahwa penemuannya suda menjadi disertasi di universitas Hasanuddin dan bukan oleh satu dokter saja, tapi oleh beberapa dokter.
Kemudian sudah lebih 15.000 orang pasien yang sudah ditangani walaupun tidak semua selalu berhasil. "Dari segi ekonomi sebenarnya kami sudah lebih dari cukup Pak," katanya sambil melirik isterinya.
Lalu saya bertanya, "Lalu kenapa Pak Terawan harus meninggalkan ibu sendirian di luar negeri, kalau ada panggilan pasien yang membutuhkan di Jakarta? Kan bisa ditunggu sampai Bapak kembali setelah selesai konferensi?"