Lihat ke Halaman Asli

Jimmy Haryanto

TERVERIFIKASI

Ingin menjadi Pembelajaryang baik

Bagaimana Kita Harus Membangun Papua?

Diperbarui: 14 Agustus 2019   10:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pagi ini rekan saya bertanya tentang pandangan saya tentang Papua. Dia menanyakan itu setelah membaca berita tentang meninggalnya Anggota Ditreskrim Polda Papua, Briptu Heidar, yang gugur setelah ditembak oleh Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) Papua, pimpinan Lekagak Telenggen, di Kampung Usir, Kabupaten Puncak, Papua, Senin (12 Agustus 2019) sekitar pukul 11.30 WIT.

Saya menanggapi bahwa masalah Papua ini harus dihadapi secara komprehensif dengan menggunakan hati Nurani. Almarhum Ali Alatas, mantan Menlu, pernah berceritera bahwa dia menulis buku tahun 2006 "The Pebble in the Shoe: The Diplomatic Struggle for East Timor" (dalam bhasa Indonesia "Kerikil Dalam Sepatu: Perjuangan Diplomasi Mengenai Timor Timur").

Asisten Ali Alatas, Jamil Flores, yang berkebangsaan Filipina, dan mantan penulis pidato Presiden Marcos bertanya saat menulis buku itu apa benar Ali Alatas berani menerbitkan buku itu karena menganggap sangat keras dan pasti banyak pejabat yang belum mampu mendengar kritikan seperti tu. Ali Alatas menjelaskan bahwa kecintaannya kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia sangat besar sehingga dia harus menulis buku itu agar kisah di Timor Timur tidak pernah terulang lagi di wilayah Indonesia lainnya.

Ali Alatas punya pandangan bahwa untuk menangani masalah dalam masyarakat harus dilakukan dengan manusiawi. Semuanya harus diperlakukan sebagai manusia yang bermartabat. Tentu saja pandangan seperti ini tidak asing bagi diplomat Indonesia terutama yang pernah berkecimpung di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) seperti Ali Alatas. Di PBB pendekatan kemanusiaan merupakan cara untuk menyelesaikan berbagai persoalan. Pejabat senior PBB pernah berceritera bahwa di kalangan PBB, Indonesia itu sudah sangat dikenal bisa memberikan hasil apapun yang ditugaskan kepadanya. Pasukan perdamaian Garuda yang kebanyakan berasal dari TNI, yang ditugaskan di berbagai wilayah di dunia selalu mengharumkan nama Indonesia.

Ketika diberi tugas menyusun laporan pelaksanaan Konvensi PBB yang sudah diratifikasi Indonesia yakni tentang Menentang Diskriminasi Rasial, Indonesia diminta menjelaskan berapa suku yang ada di Indonesia dan berapa jumlahnya dan apakah ada diskriminasi yang dilakukan kepada mereka. Saat itu sangat mencengangkan karena dengan mengikuti berita perkembangan kebesaran nama Papua, maka jumlah penduduknya pasti besar. Ternyata jumlah penduduk Papua itu hanya sekitar tiga juta jiwa dan itupun separuh merupakan pendatang. Dengan demikian penduduk asli Papua hanya sekitar satu setengah juta jiwa. Lebih menarik lagi bahwa setidaknya ada sekitar tiga ratus suku yang hidup di sana. Dengan demikian ada satu suku yang tinggal hanya sekitar 50 orang. Secara alami itu masuk akal karena memang Papua itu dikenal dengan penyakit malaria yang sering merenggut nyawa.

Lebih menyedihkan lagi sahabat saya orang Papua asli menceriterakan bahwa masih ada suku di Papua yang selama hidupnya belum pernah melihat sendok, garpu, piring atau gelas, mereka hanya hidup di atas pohon. Siapakah yang peduli terhadap mereka itu?

Apa yang dilakukan tentara kita di Papua? Mungkin kita hanya fokus pada kegiatan TNI dalam menumpas Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) Papua. Namun dari beberapa kali kunjungan ke daerah terpencil di Papua, banyak tentara kita yang melakukan tugas kemanusiaan seperti yang diharapkan Ali Alatas. Mereka mengajar anak-anak Papua agar bisa membaca dan menulis. Ketika kita berbincang dengan para tantara yang mengajar itu mereka berceritera sebenarnya mereka tidak pernah dilatih untuk bisa menjadi guru. Namun karena mereka kasihan melihat anak-anak yang sudah berusia enam hingga lima belas tahun dan tidak pernah ke sekolah dan tidak tahu membaca dan menulis, maka mereka tergerak untuk mengumpulkan mereka, kadang di lapangan terbuka jika tidak ada tempat yang lebih baik.

Kegiatan kemanusiaan seperti ini sebenarnya yang perlu ditonjolkan dan patut dihargai. Bila perlu pimpinan TNI memberikan penghargaan khusus kepada mereka. Dan warga yang sudah bisa membaca dan menulis atas pertolongan prajurit TNI ini perlu ditopang terus agar mereka menjadi warga yang baik dan jangan menjadi Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) Papua.

Kalau penduduknya kecil, mengapa Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) Papua bisa berkembang? KKB pimpinan Lekagak Telenggen telah beroperasi sejak 2006. KKB pimpinan Lekagak Telenggeng adalah kelompok paling berbahaya di "Segitiga Hitam" Papua yakni yang mencakup Kabupaten Puncak, Puncak Jaya, dan Lanny Jaya. Menjawab pertanyaan ini tidak mudah. Tapi kita harus belajar dari bukunya Ali Alatas "Kerikil Dalam Sepatu: Perjuangan Diplomasi Mengenai Timor Timur" bahwa pembangunan sebagus apapun bisa berakibat negatif jika melupakan esensi pembangunan itu sendiri yakni pendekatan kemanusiaan. Seperti pepatah orang Manado pendekatan pembangunan haruslah memanusiakan manusia.

Presiden Jokowi sudah melakukan tindakan kemanusiaan yang luar biasa di Papua. Harga kebutuhan pokok seperti bensin dan semen sudah bisa dijadikan sama dengan harga di pulau Jawa. Seluruh aparat di porvinsi Papua dan Papua Barat beserta pengusaha dan masyarakat harus bersatu hati untuk menjaga itu dan menerapkan pendekatan kemanusiaan di sana. Para pejabat Papua harus sensitif dan bisa menjadi contoh pejabat yang anti korupsi dan peduli dengan orang Papua lainnya yang masih terbelakang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline