Lihat ke Halaman Asli

Jimmy Haryanto

TERVERIFIKASI

Ingin menjadi Pembelajaryang baik

Melampiaskan Kekecewaan ke dalam Politik

Diperbarui: 11 Juni 2019   11:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Media kita kembali menyuguhkan kekecewaan "pemimpin" ke dalam politik. Seharusnya di dunia demokrasi  ketika hasil pemilu diumumkan maka yang kalah akan mengungkapkannya dengan mengakui kemenangan pihak yang menang. Ketika tahun 2004 pemilihan umum (pemilu) calon presiden dan calon wakil presiden dilakukan secara langsung oleh rakyat, bukan lagi melalui perwakilan di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), maka domokrasi Indonesia itu memulai babak baru. 

Banyak negara maju yang memuji demokrasi Indonesia, apalagi Indonesia merupakan negara dengan penduduk Islam terbesar di dunia dan saat itu seolah ada anggapan bahwa demokrasi tidak mungkin terjadi di negara Islam.

Kini pemilihan calon presiden dan wakil presiden secara langsung sudah ketigakalinya. Wajar pula kalau pelaksanaan demokrasi itu semakin baik dan dewasa. Namun kita semua tahu bahwa prosesnya belum sebagaimana seharusnya. 

Banyak informasi yang tidak benar dilontarkan bahkan ada orang yang berani mengakui bahwa dirinya dipukuli hingga babak belur yang ternyata kemudian diakuinya sebagai kebohongan. Sebelum hasil pemilu diumukan, ada pandangan yang mengatakan tidak akan mengakui Mahkamah Konstitusi. 

Ada pula yang mengatakan bahwa hasil perhitungan cepat tidak dapat dijadikan sebagai dasar untuk menentukan pemenang pemilu, harus menunggu perhitungan Komisi Pemilihan Umum (KPU). 

Namun setelah KPU mengumumkan tanggal 21 Mei 2019 bahwa pemenang pemilu presiden dan wakil preisden 2019 adalah pasangan 01 dengan 55% suara dan calon nomor 02 dengan 45% suara, tidak diterima juga.

Akhirnya saat ini rakyat Indonesia sedang menyaksikan pasangan 02 yang sedang membawa kasus pemilu 2019 kepada Mahkamah Konstitusi. Muncul pertanyaan apakah kekecewaan dalam hidup itu harus dibawa ke politik. 

Setidaknya ada jenderal berbintang di masa lalu yang menjadi tersangka karena melakukan pelanggaran hukum. Pangkat jenderal, baik di kepolisian maupun di TNI, sudah dianggap masyarakat sebagai bagian pemimpin Indonesia. 

Namun dengan adanya mantan Kapolda dan mantan Danjen Kopassus serta mantan Kepala Saf Kostrad menjadi tersangka, memunculkan pertanyaan bagi masyarakat apakah kekecewaan dalam hidup  atau karir itu harus dibawa ke dalam politik. 

Atau kalau masuk ke dalam politik, bukankah pengalman sebagai pemimpin seharusnya menjadi modal penting untuk bisa menerima kemenangan atau kekalahan secara baik dan elegan. 

Ke depan akan makin banyak kekecewaan dalam karir karena kemajuan di berbagai bidang akan memicu persaingan yang semakin ketat di pemerintahan, swasta maupun di lembaga keagamaan. Yang tidak terpakai bisa saja kecewa dan ikut ke dalam politik. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline