Salah satu dampak korupsi adalah terciptanya kemiskinan dalam masyarakat karena anggaran untuk membantu kehidupan mereka sudah dikorupsi (Foto: Suwidini Tono).
Bupati Cianjur, provinsi Jawa Barat, Irvan Rivano Muchtar, ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tanggal 13 Desember 2018 yang menjadikannya sebagai Kepala Daerah Ke-106 yang Jadi Tersangka di Komisi Pemberantasan Korupsi. 106 kepala daerah itu termasuk 15 orang gubernur, 64 bupati, dan 21 walikota.
Sebagai sesama orang Indonesia kita menjadi bertanya-tanya tentang fenomena ini. Titik Soeharto, putri mantan Presiden Soeharto dan mantan isteri Prabowo mencoba membela bahwa Pak Harto tidak benar sebagai guru korupsi karena saat ini justru lebih marak korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).
Bagi masyarakat awam yang kurang berpedidikan pernyataan seperti itu bisa saja dieterima. Namun bagi masyarakat yang sudah mulai terdidik hal itu dapat disanggah dengan mudah. Misalnya apa yang dilakukan para kepala daerah, seperti yang dilakukan Bupati Cianjur, dengan meminta uang dari para kepala sekolah, di zaman Presiden Soeharto tidak dianggap sebagai korupsi dan itu dilakukan dengan sangat lihai. Menerima suappun asal dilakukan tidak ketahuan, dan sering dengan licik dilakukan, dan itu dianggap hal yang lumrah.
Dengan kata lain banyaknya korupsi yang ditangakap KPK di zaman reformasi ini, bukan karena korupsi lebih marak dibandingkan dengan zaman Orde Baru. Justeru sebaliknya, korupsi semakin berkurang dan masyarakat sesungguhnya merasakan itu. Namun semakin banyak perbuatan yang dianggap menjadi tindak pidana korupsi di zaman reformasi ini.
Misalnya membangun suatu bangunan tapi dengan menunjuk langsung pembangunnya di zaman Orde Baru hal yang umum, tapi di zaman reformasi itu dianggap korupsi dan akan ditangkap KPK. Ungkapan terima kasih berupa uang dan mobil atau rumah dari pihak perusahaan yang diuntungkan di zaman Orde Baru merupakan hal biasa, dan bukan tindak pidana korupsi, tapi di zaman reformasi saat ini hal itu dianggap sebagai kejahatan korupsi.
Namun sekarang pertanyaan yang muncul dari masyarakat Indonesia yang dari dulu dianggap ramah dan senang bergotong royong ini, apakah memang para pejabat kita itu punya naluri mencuri sehingga gemar melakukan korupsi. Tentu saja pertanyaan ini tidak mengkritisi langkah KPK yang sudah bekerja optimal, tapi pertanyaan bagi semua pihak.
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tidak boleh hanya berdiam saja di mana para anggotanya ada yang melakukan tindak pidana itu. Para penegak hukum, termasuk polisi, jaksa, pengacara dan hakim juga harus berupaya mencarai pemikiran bernas agar generasi mendatang tidak dijadikan ara koruptor. Presiden dan seluruh aparatnya sebagai bagian pemerintah juga tidak boleh berdiam diri.
Semua pihak harus bisa menjadikan Indonesia seperti Singapura, Denmark, Selandia Baru, Finlandia, dan lain-lain yang tingkat korupsinya sangat rendah.
Kalau melihat pola yang dilaukan para koruptor saat ini, terutama ke-106 kepala daerah itu pada umumnya mereka menerima uang yang terkait dengan jabatan mereka. Hukuman merekapun dianggap ringan sekitar 4 (empat) tahun atau kurang dari 10 tahun.