Lihat ke Halaman Asli

Jimmy Haryanto

TERVERIFIKASI

Ingin menjadi Pembelajaryang baik

Ironi Harga Nasi Goreng

Diperbarui: 18 Oktober 2017   04:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Siapa yang tidak tahu nasi goreng; itu sudah makanan sehari-hari bagi kita. Tapi ada ceritera yang mengernyitkan dahi dari harga nasi goreng ini. Kalau ditanyakan harga nasi goreng di kota besar New York, di negara maju Amerika Serikat  dengan harga nasi goreng di negara berkembang Sudan Selatan, mungkin  kita akan terperangah memperoleh jawabannya.

Menurut Foodbeast tanggal 17 Oktober 2017 satu piring nasi  goreng di New York hanya AS$1,20 atau sekitar Rp. 16 ribu rupiah; lebih  mahal sedikit dari pada di Indonesia.  

Namun di negara yang penduduknya  jauh lebih miskin di Sudan Selatan harganya hampir 300 kali lipat yakni  AS$ 321,70 atau sekitar Rp. 4.182.000 satu piringnya. Artinya dengan  membeli satu piring nasi goreng di Sudan Selatan maka itu sudah cukup  untuk membeli 300 piring nasi goreng di New York.

Memang Direktur  Eksekutif Program Pangan Dunia David Beasley menjelaskan bahwa itu juga  akibat konflik yang terjadi di Sudan Selatan. Dia mengingatkan orang agar   jangan lupa bahwa konflik dapat menciptakan ketidaksetaraan yang kejam  dalam hal akses terhadap makanan.

Ironis bukan? Di negara maju  yang penduduknya lebih sejahtera tapi uang yang diperlukan untuk membeli  makanan tidak terlalu mahal, sementara di negeri miskin yang rakyatnya  sangat memerlukan makanan harus membayar dengan harga yang sangat mahal.

Presiden Joko Widodo menjelaskan bahwa salah satu penyebab tingginya harga barang termasuk makanan dan minuman yang merupakan kebutuhan dasar masyarakat adalah kurangnya infrastruktur. Presiden mengajukan pertanyaan dalam orasi ilmiah pada Dies Natalis Universitas Dipnegor di Semarang tanggal 17 Oktober 2017 "Mengapa kita gencar membangun infrastruktur?" Presiden menjelaskan bahwa dengan kurangnya pembangunan infrastruktur, maka rakyat akan menangung akibatnya. Harga-harga menjadi tinggi yang harus dipikul masyarakat karena biaya transportasi yang mahal misalnya.

Hal ini juga pernah terjadi di negeri kita yang baru merdeka 72 tahun dari penjajahan yang ratusan tahun ini. Di zaman penjajahan Belanda Papua sudah tertinggal dibandingkan dengan wilayah lainnya di Hindia Belanda. Namun di zaman kemerdekaanpun harga bensin dan semen ternyata bisa lebih tinggi di Papua.

Dulu harga BBM di beberapa wilayah Papua bisa dijual dengan harga Rp 70 ribu-100 ribu per liter. Dalam lawatannya ke Jayapura, saat menghadiri peresmian enam infrastruktur kelistrikan untuk Papua dan Papua Barat, di Gardu Induk Waena, Jayapura, Papua, Senin, 17 Oktober 2016, Presiden Joko Widodo mengungkapkan adanya ketidakadilan harga BBM di wilayah Papua. Kondisi tersebut jauh berbeda dengan Jawa yang harga BBM untuk jenis Premium Rp 6.450 per liter dan Solar Rp 5.150 per liter. Itu sudah masa lalu. Sekarang harganya sudah sama. 

Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno mengatakan, upaya penurunan harga BBM dilakukan PT Pertamina dengan berbagai cara. Mulai dari memetakan kondisi harga di wilayah hingga penyediaan infrastruktur untuk bisa menurunkan harga BBM tersebut. Akhirnya, sejak akhir Agustus 2016 pemerintah bisa menekan tingginya harga BBM di Papua.

Tentu alasan klasik seperti di Sudan Selatan itu akibat kurangnya pembangunan infrastruktur dan adanya konflik.

Banyak negara maju di dunia yang membangun infrastruktur dengan hutang seperti AS, negara-negara Eropa, Jepang, dan Singapura karena dengan pembangunan infrastruktur itu beban masyarakat bisa dikurangi. Tentu kebijakan untuk melakukan pinjaman itu harus diikuti dengan semangat transparansi dan bebas dari praktik korupsi.   

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline