Lihat ke Halaman Asli

Jimmy Haryanto

TERVERIFIKASI

Ingin menjadi Pembelajaryang baik

Dulu Kita Dikalahin Malaysia, Sekarang oleh Thailand?

Diperbarui: 5 Oktober 2016   01:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Mengapa kita harus menarik turis asing datang ke Indonesia? Bukankah rakyat kita juga belum tentu sudah pernah menikmatinya. Tidak ada yang meragukan keindahan Bali sehingga jutaan orang datang setiap tahunnya. Apa yang dilakukan oleh turis asing itu di Bali? Katanya mereka sangat suka menikmati sinar matahari di pagi atau sore hari sambil berjalan kaki di pasir sepanjang pantai Kuta. Atau mereka juga bisa berenang menikmati air laut sambal melihat matahari, hingga sampai 30 meter jauhnya dari pantai.

Tapi apa hanya itu? Lalu mengapa AS begitu giat menggalakkan pariwisata sehingga menjadi negara dengan paling banyak turis yang datang ke negaranya? Badan Pariwisata Dunia (World Tourism Organisation-WTO, di mana Indonesia salah satu anggotanya) mencanangkan tahun 2015 dengan semoboyan “Satu Miliar Turis, Berarti Satu Miliar Kesempatan.” Apa pula artinya itu? Mungkinkah itu propaganda negara-negara maju yang pernah menjajah Indonesia 350 tahun? Entahlah.

Tapi yang jelas di lingkungan kita saja, turis yang datang ke Indonesia (menjadi anggota WTO tahun 1975) baru sekitar 10 juta sementara ke Malaysia (menjadi anggota WTO tahun 1991) sudah 26 juta orang. Bahkan sekarang katanya turis manca negara yang datang ke Thailand (menjadi anggota WTO tahun 1996) sudah mencapai 33 juta setiap tahunnya. Kalau hitung-hitungan WTO benar, setiap turis biasanya menghasilkan sekitar seribu dolar untuk penerimaan suatu negara. Maka penerimaan negara Thailand dan Malaysia tentu lebih besar dari Indonesia dari sektor pariwisata. Untuk tahun 2014 menurut WTO penerimaan negara dari sektor turis manca negara untuk Thailand ASD38.4 milar, Malaysia ASD22 miliar, Singapura ASD19,2 miliar dan Indonesia ASD9,8miliar.  

Tapi orang Malaysia dan Thailand mengakui tempat indah sebenarnya jauh lebih banyak di negeri yang memiliki 17 ribu palau dan punya Bali, Jakarta, Bandung, Raja Ampat, Danau Toba, Sungai Musi, Bunaken, Gorontalo, Wakatobi, Danau Sentani, puncak, pulau Seribu, gunung Krakatau, Komodo, gunung Rinjani, museum fosil manusia di Sragen, gunung Bromo, danau Kelimutu, candi Borobudur ini.

Lalu di mana masalahnya? Mungkinkah masalahnya karena orang Indonesia belum tahu caranya bagaimana memanfaatkan apa yang dimilikinya itu agar hidupnya lebih baik dan sejahtera? Mungkin juga.

Sudah banyak media yang mengungkapkan bahwa di Bali sekarang banyak orang asing yang menikmati pulau itu dengan memiliki rumah bagus dan sawah. Tapi orang Bali sendiri menjadi pekerja di tanah yang dulu dimilikinya itu. Itu tidak boleh terjadi lagi. Pemerintah, orang pintar di universitas, politisi, tokoh masyarakat dan agama atau siapapun yang tahu harus mencegah itu terjadi.

Di negara maju turis harus mengikuti aturan di negara itu agar bisa bisa menikmati keindahan alamnya. Kalau kita mengunjungi air terjun Niagara antara New York dan Canada, maka para turis harus mengikuti aturan yang mereka buat. Kita tidak mendengar berita bahwa orang-orang di sana menjual tanahnya dan mereka sendiri menjadi pekerja bagi pembeli tanah mereka. Mengapa? Karena mereka belajar!

Rakyat kita harus belajar agar cerdas dan tidak menjadi “pekerja” di bekas tanah sendiri hanya karena ketidaktahuan.

Ini tanggungjawab siapa? Ini tanggungjawab seluruh rakyat Indonesia. 261 juta rakyat Indonesia (dari Papua hingga ke Sabang, dari pulau Rote hingga ke Mianggas, yang menjalankan agama atau tidak) harus belajar dan cerdas agar tidak dijajah lagi 350 tahun seperti sudah terjadi di masa lalu.

Kita perlu mendatangkan banyak turis manca negara, tapi rakyat Indonesia harus bisa menikmati hasil kunjungan turis itu. Misalnya orang Indonesia harus dibantu agar bisa menjadi pemilik tempat penginapan seperti hotel, restoran, mobil transportasi. Orang Indonesia harus dibantu agar bisa menjadi pemilik toko yang menjual barang-barang yang diminati turis asing. Apa artinya anggaran negara di pusat dan anggaran daerah 20% dialokasikan untuk sektor pendidikan kalau warga Indonesia masih banyak yang tidak terdidik?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline