Mengapa tiba-tiba “tax amnesty atau pengampunan pajak” menjadi masalah? Bukankah pakarnya Sri Mulyani yang sudah diakui dunia sudah diangkat menjadi Menteri Keuangan? Masyarakat pada awalnya percaya bahwa tujuan tax amnesty itu untuk mendorong pemilik uang di luar negeri mau mengembalikan uangnya ke dalam negeri karena diberikan “keringanan pajak” sehingga banyak dana yang dapat digunakan untuk membangun negeri.
Namun masyarakat melihat bahwa dana yang kembali ke tanah air itu tidak banyak. Lalu masyarakat menganggap rakyat biasapun ternyata diminta untuk melakukan tax amnesty itu. Atau dengan bahasa sederhananya agar rakyat yang belum membayar pajak selama ini agar melakukan “pembayaran pajak.”
Sebenarnya tidak salah juga. Tapi konsepnya saja lebih diperjelas. Kita harus akui bahwa pembayar pajak masih rendah, oleh karena itu perlu tax awareness atau kesadaran pajak.
Dua-duanya tujuannya sama yakni menarik uang rakyat untuk bisa digunakan pemerintah atau Negara. Persoalannya antara yang kaya dan yang miskin jaraknya terlalu jauh.
Ahli ekonomi Adam Smith (orang Skotlandia yang tidak pernah menikah dan meninggal dunia tanggal 19 Juli 1790) yang menulis buku yang terkenal “The Wealth of Nations” dan diterbitkan tanggal 9 Maret 1776 dan mengatakan tidak ada gunanya kemajuan suatu negara jika masih banyak orang miskin di negara itu. Memang pandangannya yang mengatakan bahwa penyelundupan (smuggling) dapat dibenarkan untuk menghadapi tindakan hukum yang tidak alami cukup kontroversial.
Demikian juga pandangan ekonom muda Thomas Piketty (kelahiran Clichy, Perancis, 7 May 1971) yang dalam usia belia (23 tahun) sudah menjadi Ph.D dalam ilmu ekonomi dan menulis buku Capital in the Twenty-First Century (2004). Pendapatnya yang mengatakan sistem keuangan/perpajakan saat ini belum memenuhi aspirasi masyarakat patut kita simak. Dia menyarankan agar sistem pembagian gaji bagi para pekerja dan pemilik modal termasuk untuk para penguasa perlu ditinjau kembali.
Pandangan ekonom Indonesia Prof. Dr. Anwar Nasution dari Universitas Indonesia yang mengatakan bahwa tax amnesty lebih dinikmati para pengusaha keturunan Tionghoa yang selama ini tidak membayar pajak patut juga dipertimbangkan.
Jalan keluarnya adalah kesadaran pajak. Para orang kaya, terutama keturunan Tionghoa, harus punya kesadaran sendiri untuk mau berbagi. Bukan saja harus membayar pajak, tapi harus rajin menjadi dermawan seperti yang telah ditunjukkan orang-orang hebat yang peduli seperti pengusaha Taher. Kita perlu lebih banyak lagi orang-orang seperti itu.
Sri Mulyani perlu lebih cerdas dengan mengimbau masyarakat untuk membayar pajak, bukan dengan “paksaan” tapi dengan mengajak berbagai pihak, terutama orang-orang kaya, yang mau menjadi contoh membayar pajak kepada negara bahkan memberikan sumbangan di luar pajak.
Atau patut dipertimbangkan untuk menerapkan pajak baru bagi mereka yang berpendapatan di atas Rp 5 miliar rupiah misalnya bisa ditetapkan pajak warisannya menjadi 50% seperti yang diterapkan di Negara-negara maju. Asal pajak itu tidak disalahgunakan, maka masyarakat tentunya tidak keberatan dengan cara ini. Di negara maju pembayaran pajak ini sudah diterapkan secara baik misalnya keluarga raja seperti di Spanyol atau Jepangpun harus bayar pajak tanpa pandang bulu.
Semoga pemerintah makin kreatif dalam menolong masyarakat untuk sadar pajak demi membangun negeri tercinta.