[caption id="attachment_413818" align="aligncenter" width="624" caption="Ilustrasi/Kompasiana (Shutterstock)"][/caption]
Hukuman mati tahap kedua terhadap kejahatan narkoba telah dilaksanakan. Delapan dari sembilan orang terpidana yang telah mendapatkan kekuatan hukum tetap telah dieksekusi. Satu orang Mary Jane dari Filipina tiba-tiba ditunda pelaksanaannya karena pemerintah mendengarkan pertimbangan Presiden Filipina yang menyebutkan bahwa ada bukti baru yang dapat memengaruhi pelaksanaan hukuman mati terhadap warganya itu.
Walaupun banyak yang memuji ketegasan Presiden Joko Widodo karena sebenarnya para penjahat narkoba itu sudah lama mendapatkan putusan hukuman mati, namun Presiden sebelumnya tidak berani melaksanakannya karena banyak pertimbangan, tapi banyak juga yang mengkritik. Bahkan Perancis, Australia, dan Brazil menyatakan suara yang sangat keras menentang Indonesia.
Terlepas dari pro kontra tersebut, ada emas dan berlian dari pelaksanaan hukuman mati itu. Pertama seluruh masyarakat Indonesia terutama para polisi, jaksa, pengacara, hakim, PNS, politisi, pengusaha, pelajar, mahasiswa, dan artis bisa menjadikan kesempatan itu untuk menyatukan tekad yang tulus dan tegas untuk membersihkan diri dari penggunaan atau penjualan narkoba. Kalau itu yang dilakukan, maka negara Indonesia diharapkan akan bersih dari narkoba tersebut dan akan menjadi negeri yang kuat dan disegani oleh dunia.
Emas atau berlian kedua dari pelaksanaan hukuman mati itu, mengingat Indonesia sudah telanjur disorot oleh dunia, maka mari kita jadikan kesempatan ini untuk berubah di segala bidang, termasuk mencegah diri dari kejahatan lainnya. Dua hal yang mengejutkan kita beberapa hari terakhir ini yakni narkoba dan prostitusi on line.
Dua isu itu memang sangat mengkhawatirkan kelangsungan negara Indonesia yang sedang bergerak maju ini. Tanggal 28 April 2015 baru ditemukan mayat mahasiswi universitas negeri di Yogyakarta berusia 21 tahun saat melahirkan bayinya di tempat kos. Sebelumnya wanita cantik tewas dibunuh teman kencannya di Tebet, Jakarta. Masyarakat kita wajar terperanjat dengan kejadian itu karena orang terpelajar pun ternyata bisa terlibat dalam perbuatan yang membuat mereka menghadapi kesulitan hidup yang lebih dalam ketika menghadapi masalah.
Dengan pelaksanaan hukuman mati terhadap penjahat narkoba saja wajah Presiden Jokowi sudah dibuat merah padam oleh para pemimpin negara lain, apalagi kalau mereka tahu bahwa rakyat Presiden RI itu ternyata suka melakukan kejahatan seksual, maka tambah beratlah beban Presiden yang mantan wali kota dan gubernur itu. Mudah-mudahan mereka tidak bertanya tentang revolusi mental itu.
Seharusnya "sekolah" dapat menolong orang untuk dapat menemukan cara-cara yang lebih baik dalam menghadapi masalah yang dihadapinya. Seks memiliki banyak aspek, termasuk kenikmatan yang tiada taranya. Namun seks juga mempunyai resiko misalnya akan menimbulkan penyakit, atau mengakibatkan lahirnya bayi. Seharusnya "sekolah" bisa menjelaskan itu secara gambalang kepada para peserta "sekolah" sehingga ketika mereka mempunyai pilihan untuk melakukan itu mereka benar-benar sadar dan tahu pilihan mana yang akan diambil.
Sama seperti seks, narkoba juga tentu dapat menghasilkan kenikmatan yang luar biasa sehingga walaupun hukumannya berat orang masih tertarik. Namun di sisi lain narkoba juga punya dampak yang luar biasa negatifnya. Orang menabrak sembilan pejalan kaki dan semuanya tewas karena pengaruh narkoba yang dikonsumsinya.
Jangan kita biarkan negeri Indonesia yang punya potensi untuk menjadi negeri maju, besar dan sejahtera ini rusak dan menjadi negeri miskin hanya karena isu seks dan narkoba itu. Mari kita ambil emas dan berlian dari pelaksanaan hukuman mati itu dengan melakukan revolusi mental pada diri masing-masing dengan berlomba-lomba memberikan sumbangan terbaik untuk memajukan negeri yang berpotensi menjadi negeri maju dan besar ini!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H