Sekarang ini polisi masih belum sesuai dengan harapan masyarakat, walaupun banyak juga perwira polisi yang punya nurani dan idealisme untuk membangun negeri ini tanpa memikirkan dirinya seperti yang dilakukan Jokowi. Namun untuk menjadi polisi seperti itu tidak mudah saat ini. Mungkin kasus Susno Duadji menjadi pelajaran berharga.
Susno Duadji dikenal luas di masyarakat ketika menjadi Kabareskrim pada bulan Oktober 2008 menggantikan Komjen Bambang Hendarso Danuri yang didaulat menjadi Kapolri. Pria kelahiran Pagar Alam Palembang, 1 Juli 1954 itu dengan pangkat Komisaris Jenderal berbintang tiga diramalkan akan menjadi Kapolri menggantikan Bambang Hendarso Danuri.
Namun tahun 2009 kisahnya berubah ketika dianggap terlibat dalam kasus korupsi yang ditandai dengan pengunduran dirinya tanggal 5 November 2009, tapi ttanggal 9 November 2009 kembali dia aktif sebagai Kabareskrim. Kemudian tanggal 24 November 2009 akhirnya Kapolri mengummkan pemberhentiannya sebagai Kabareskrim. Dia kemudian digantikan Komjen Ito Sumardi.
Setelah tidak menentu, Susno diberitakan mendaftarkan diri menjadi caleg PBB dalam pemilu 2014. Bulan April 2013 Mahkamah Agung menolak peninjauan kembali kasusnya setelah kasasinya ditolak bulan Desember 2012, yang berarti dia terbukti melakukan korupsi ketika menjadi Kapolda Jawa Barat atau ketika menjadi Kabareskrim dan harus mendekam di penjara selama 3,5 tahun.
Kasasi terdakwa ini diputus pada 22 November 2012 oleh majelis hakim yang diketuai Zaharuddin Utama dan beranggotakan Leopold Luhut Hutagalung, Sri Murwahyuni, hakim ad hoc MA. Dengan demikian, Susno Duadji tetap dihukum tiga tahun enam bulan dan membayar denda Rp200 juta berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tanggal 24 Maret 2012.
Memang Komjen Susno penuh kontroversi. Ketika menjabat Kabareskrim Susno membuat pernyataan yang berbunyi "Ibaratnya di sini buaya di situ cicak. Cicak kok melawan buaya" yang menimbulkan kontroversi hebat di Indonesia. Akibat dari pernyataan ini muncul istilah "cicak melawan buaya" yang sangat populer dan gelombang protes dari berbagai pihak juga bermunculan dan membuat banyak pihak yang merasa anti terhadap korupsi menamakan diri mereka sebagai cicak dan sedang melawan para "Buaya" yang diibaratkan sebagai Kepolisian.
Namun Susno juga dianggap berjasa mengungkap kasus Gayus Tambunan dengan menyatakan adanya seorang pegawai pajak yang mempunyai rekening tidak wajar. Akibat dari terbongkarnya kasus ini, beberapa jenderal polisi, pejabat kejaksaan, kehakiman dan aparat Kemenkeu terpaksa kehilangan jabatanya dan diperiksa atas dugaan bersekongkol untuk merugikan negara. Selanjutnya Susno menyebutkan seorang mafia kasus di tubuh POLRI yang bernama Mr. X , yang di kemudian hari ternyata seorang mantan diplomat dan anggota BIN bernama Sjahril Djohan yang kemudian menjalani hukuman penjara setelah diputus bersalah oleh pengadilan.
Mantan Kabareskrim Mabes Polri ini juga diwajibkan mengembalikan kerugian negara Rp4 miliar. Jika tidak dikembalikan dalam waktu satu bulan sejak putusan ditetapkan, maka harta bendanya akan disita. Majelis hakim PN Jakarta Selatan menilai Susno terbukti bersalah dalam kasus korupsi PT Salmah Arowana Lestari dan korupsi dana pengamanan Pilkada Jawa Barat.
Susno juga dianggap terbukti menyalahgunakan kewenangannya saat menjabat Kabareskrim Mabes Polri untuk melakukan tindak pidana korupsi dalam kasus Arowana dengan menerima hadiah sebesar Rp500 juta untuk mempercepat penyidikan kasus tersebut.
Sayangnya ketika Kejaksaan hendak menahannya, awalnya bersedia, namun timbul persoalan karena Polda Jawa Barat berupaya melindunginya.
Itulah sekelumit kisah Susno Duadji yang sempat cemerlang di Polisi dan mencoba menjadi Politisi. Hanya untuk mengingatkan siapa dia dan mengapa Kejaksaan kesulitan menahannya serta mengapa Presiden harus berkomentar tentang kasus ini. Biarlah sejarah yang mencatat apakah Susno Duadji sebagai pahlawan atau memang koruptor.