Hampir tidak masuk di akal sehat. Tayangan televisi sore itu menampilkan mantan seorang menteri yang cerdas dan ganteng, tampil di ruang sidang pengadilan terkait dengan kasus korupsi di kantornya. Zaman dulu hal itu mustahil terjadi, karena besarnya kuasa seorang menteri. Sebelum diperiksa polisi pun, kasus seperti itu dulu sudah bisa dihentikan, tanpa harus melibatkan menteri. Tapi rupanya sekarang zamn sudah berubah.
Seorang pegawai di salah satu kantor kementerian mengamatinya. Dia merupakan lulusan perguruan tinggi tempat Budi Oetomo didirikan tahun 1908. Putra Jokowi namanya. Tapi dia lebih sering dipanggil Putra saja. Tahun lalu dia mendapat hadiah ultah ke-28 dari para stafnya berupa karikatur tentang dirinya yang lucu.
Hal itu membuat dia merasa bersalah karena menganggapnya terlalu mahal. Delapan tahun lalu, ketika dia duduk di bangku kuliah untuk menyelesaikan disertasi Ph.D di salah satu kampus ternama di kota Boston, AS, dia berharap seluruh rakyat Indonesia itu bisa lebih sejahtera, cerdas, tidak kalah dari masyarakat Amerika, Eropa, Timur Tengah, atau Jepang.
"Aku bisa kuliah di sini karena perjuangan rakyat Indonesia" gumam Putra dalam hati saat professor ekonomi menjelaskan persoalan yang dihadapi AS saat dipimpin Obama.
Putra mungkin tergolong orang yang sangat beruntung dalam banyak hal. Tingginya yang 1,85m dan penampilannya yang atletis membuatnya digandrungi lawan jenisnya. Yang membuat para perempuan lebih tertarik lagi karena dia sangat senang menolong orang lain, tanpa melihat siapa orang itu.
Namun keberuntungan itu sengaja tidak digunakannya untuk memberikan keuntungan diri sendiri. Ketika orang susah mendapat jabatan di kantornya, Putra tidak demikian. Mungkin karena pendidikan dan sikap yang berpihak padanya.Orang tuanya, yang bekerja sebagai guru, selalu mendidik Putra sejak dini dengan berbagai pilihan dan konsekuensinya.Namun yang menentukan pilihan adalah Putra sendiri.
Putra sangat beruntung mendapat pendidikan yang baik, bukan saja dari sekolah dan perguruan tinggi yang baik dan ternama di Indonesia, tapi juga memperoleh bea siswa di perguruan tinggi yang baik di luar negeri. Tentu hal itu sangat berpengaruh positif dalam meningkatkan kemampuannya. Misalnya di bidang bahasa asing, pengetahuan, serta sikap yang sangat menunjang keberhasilan karirnya di kantor. Tapi sekaligus juga semakin meningkatkan rasa cintanya kepada Indonesia.
Sejak mahasiswa, si ganteng Putra sering menjadi pusat perhatian karena kemampuan bahasa Indonesianya yang luar biasa. Ketika anak-anak mahasiswa berkomunikasi dengan berbagai dialek, khususnya dialek Jakarta, Putra akan tetap melayaninya dengan Bahasa Indonesia yang baik dan benar.
"Lhu itu lucu banget Put. Udah kita coba rayu dengan gaya abis, tapi lho tetep aja dengan bahasa Indonesia lhu yang apik!" canda seorang mahasiswa cantik yang membuat kerumunan terbahak.
Memang di mana ada Putra, di situ pasti ada kerumunan karena sifat dia yang sangat menyenangkan.
"Bukan begitu" Putra mulai dengan gayanya yang santun.
"Kalau sesama mahasiswa seperti kita, kenapa harus dirayu-rayu. Langsung saja. Misalnya kenapa tahun 1928 para pemuda seusia kita berkumpul di Solo dan sepakat untuk menggunakan bahasa Indonesia?" lanjut Putra yang membuat kerumunan semakin gaduh lagi karena merasa pernyataan Putra dengan bahsa Indonesia yang sempurna sangat lucu.
"Lhu itu memang pantasnya guru Bahasa Indonesia atau Sejarah Putra" celetuk mahasiswi lain yang baru turun dari mercy biru S-550 keluaran tahun 2014 sama dengan warna bajunya.
Putra semakin disenangi di kampusnya karena tulisan-tulisannya yang kritis. Mungkin kita pernah membaca artikelnya di berbagai media seperti Kompas, The Jakarta Post, Suara Pembaruan, Tempo, Gatra, dan lain-lain namun dia tidak mau menggunakan nama aslinya.Dari menulis ini Putra bukan saja mampu membayar uang kuliahnya, tapi juga dapat membiayai teman-temannya yang kurang mampu, terutama yang berasal dari daerah.
Kebetulan ibu dan ayah Putra senang kalau para mahasiswa yang kelaparan datang ke rumah untuk menikmati hidangan yang dimasak.
“Yang penting kita bersihkan piring-piring dan gelasnya, biar Ibu lebih semangat memasak untuk kita” kata Putra kepada teman-temannya; karena memang mereka tidak mau mempunyai pembantu rumah tangga.
Itulah kehidupan Putra dulu di kampus. Mungkin banyak bekas mahasiswa yang ingat itu dan sekarang mengajarkannya kepada anak-anak mereka.
Putra memang beruntung luar biasa. Ketika orang susah mencari pekerjaan, Putra justeru sebaliknya, susah menentukan pilihan karena banyak pilihan yang bagus.
Putra dipercayai kedudukan yang cukup lumayan. Mungkin setingkat jenderal bintang dua atau direktur. Putra benar-benar menikmatinya. Namun kehidupan sederhana pejabat sebelumnya seperti Wapres Mohammad Hatta yang dibacanya dari buku “Seri Di Mata,” Kapolri Jenderal Hoegeng Iman Santoso, Jaksa Agung Baharuddin Lopa, membuat Putra merasa belum ada apa-apanya dibandingkan mereka.
Oleh karena itu Putra berupaya semaksimal mungkin untuk menjadi pejabat yang berguna untuk negeri ini.Ketika banyak orang mengatakan itu tidak mungkin, Putra menunjukkannya dalam kenyataan bahwa itu mungkin. Suatu saat Putra ditawari amplop yang cukup tebal karena dianggap telah membantu perjalanan menteri dan rombongan ke luar negeri dengan baik. Tapi Putra menolaknya dengan sopan karena menganggap itu sudah bagian tugasnya. Staf yang memberikan amplop itu datang lagi setelah dimarahi atasannya, tapi Putra merasa tidak perlu dibayar untuk itu dan tetap menolaknya.
Di kesempatan lain seorang pengusaha pernah bilang bahwa Indonesia sudah cepat maju kalau semua pejabatnya seperti Putra, ketika Putra menolak voucher akhir tahun dari perusahaan itu.
Putra selalu menggunakan kendaraan umum jika hendak bekerja atau pulang bekerja, pada hal sebenarnya mampu membeli kendaraan pribadi. Kantornyapun sebenarnya sudah menyediakan kendaraan, termasuk dengan pengemudinya. Dia menganggap lebih nikmat naik kendaraan umum dan bebas dari godaan mahluk halus, terutama kalau ada tugas ke daerah puncak.
Yang sering membuat Putra agak tidak nyaman dengan tidak memiliki kendaraan pribadi ini hanya misalnya ketika ada acara besar, seperti di gedung atau hotel. Banyak orang yang kedudukannya lebih rendah harus mempersilahkan Putra naik kendaraan, sebelum mereka naik mobil yang sudah ditunggui supirnya.
Biasanya Putra harus mencari akal agar semuanya merasa nyaman. Demikian juga kalau di saat-saat tertentu seperti idul fitri di mana sulit mencari kendaraan umum. Tapi itu hanya setahun sekali. Semoga Jokowi-Ahok memerhatikan kendaraan umum ini sehingga pejabat yang sederhana seperti Putra tidak harus membeli mobil pribadi.
Kenapa Putra tidak pakai mobil pribadi saja atau mobil kantor? Alasan utamanya karena pengetahuan Putra mengatakan kemacetan di Jakarta bisa dikurangi kalau orang-orang yang mampu mau membatasi dirinya untuk mengurangi kendaraan di jalan. Kebetulan Putra tahu dan dia juga mau.
Kalau ke kantor dia selalu membawa tas ransel seperti mahasiswa karena dulu dia melihat Menlu Australia menggunakan tas seperti itu, padahal seorang menteri. Penampilan Dahlan Iskan yang sering pakai kemeja biasa dan sepatu sederhana ke kantor, atau Wapres Budiono yang sering dengan kemeja putihnya, cukup mempengaruhi Putra. Putra berpikir kalau anggaran pakaian para pejabat digunakan untuk mengatasi banjir di Jakarta, mungkin sudah ditemukan jalan keluarmya.
Dia belajar dari teman-temannya bahwa yang cantik/ganteng, modis dan harum itu lebih mudah tergoda kepada masalah seksual seperti perselingkuhan dibandingkan dengan orang biasa-biasa. Suatu saat seorang staf muda di kantornya mengeluh.
“Pak Putra kenapa ya saya jelek begini padahal saya sudah sering ke salon?”
“Besyukurlah, berarti kemungkinan anda berselingkuh lebih kecil” jawab Putra bergurau.
“Ah bisa aja si Bapak!” jawab wanita itu tersenyum.
"Benar, kalau tidak cantik mana ada yang mau selingkuh dengan dia?" jawab Putra.
Mungkin pembaca bertanya bagaimana dengan tempat tinggal? Ya ini menarik! Ketika di kantor sering ditanyakan mengenai alamat rumah, maka ini juga sering menjadi masalah karena berganti-ganti.
Keluarga Putra memutuskan untuk menyewa rumah, dengan harapan kalau kebanyakan orang Indonesia sudah memilikinya, barulah nanti mereka akan mencari rumah sendiri. Kesannya menjadi sedikit sombong dan mungkin berlebihan. Kalau harus menginap di rumah saudara di kompleks perumahan di daerah perumahan Cikeas misalnya, Putra anggap sudah seperti di luar negeri, di mana dia pernah belajar dan bekerja. Barang berharga dibiarkan di luar rumah, pasti tidak hilang karena keamanannya sangat bagus.
Tapi Putra menganggapnya itu seperti hidup bukan di dunia nyata. Suara tangis anak tetangga karena lapar dan tidak memiliki makanan untuk dimakan, tidak ada lagi di sana. Sementara kalau tinggal di rumah kontrakan, hal itu menjadi hal biasa bagi bagiPutra dan itu menolongnya untuk tidak tergoda berbuat korupsi atau sejenisnya.
Tapi sebenarnya ini belum seberapa menurut Putra. Apalagi kalau dibandingkan dengan hidup Jenderal Pol Hoegeng Iman Santoso yang sederhana atau Dahlan Iskan yang mau naik kereta api atau naik ojek.
Hampir semua anak buah Putra di kantor merasa heran. Bahkan ketika KPK menerima laporan harta kekayaan yang disampaikan Putra, pada awalnya ditolak karena dianggap tidak mencantumkan semua kekayaan seperti rumah, tanah, dan mobil yang memang tidak dimiliki Putra. Pada hal anak-anak buahnya pun lazim memiliki itu semua tanpa harus korupsi.
Putra juga bangga punya ayah dan ibu yang tidak mempunyai keinginan materi berlebihan. Kedua orangtuanya merasa bangga bahwa anaknya dalam usia muda sudah mempunyai jabatan tinggi, tapi tetap punya hati yang rendah dan perilaku yang baik.
Putra ingin membuktikan bahwa tidak semua pejabat Indonesia hidup mewah dan tidak peduli sama nasib rakyat. Ini juga harapan Putra kepada rekan-rekannya di pemerintahan agar hidup seperti rakyat pada umumnya, dan kalau memiliki kemampuan lebih digunakan untuk membantu mereka.
Tapi bahagiakah Putra? Oh ya pastilah. Putra justeru dapat menikmati kebahagiaan dengan pola hidup seperti ini. Sekali-sekali ke restoran, menonton film (terutama film Indonesia yang baik), mengunjungi tempat-tempat menarik, dan bermain olah raga. Tentu tidak semewah mereka yang memiliki banyak uang, tapi cukuplah.
Ketika ada keluarga atau teman yang perlu bantuan, maka keluarga Putra tidak keberatan memberi lebih banyak, tapi sesuai kemampuan tentunya. "Semua pengeluaran untuk hal-hal itu harus dari penghasilan yang halal, bukan dari penyalahgunaan jabatan atau pekerjaan" kata Putra kepada dirinya sendiri.
Ketika banyak yang mengatakan bahwa pejabat Indonesia itu tidak ada yang bersih, pasti korupsi, tidak peduli terhadap nasib rakyat, dan hidup mewah, Putra ingin membuktikan dalam kenyataan tidak selalu seperti itu!
Hari sudah mulai malam, Putra Jokowi masih berada di kantor sambil melihat tayangan televisi dengan acara Indonesia Lawyers Club yang dipandu Karni Ilyas yang menggambarkan kehidupan para pakar hukum Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H