Di balik peristiwa berdarah dalam penyerangan kantor majalah mingguan Charlie Hebdo di Paris tanggal 8 Januari 2015, Indonesia mendapat pujian terutama dari beberapa pakar Barat peserta Forum Perdamaian Dunia ke-5 (5th World Peace Forum (WPF)) yang diselenggarakan Muhammadiyah di Jakarta tanggal 20-23 November 2014 dengan mengundang berbagai tokoh baik dari dalam maupun luar negeri dengan tujuan menyelesaikan perbedaan atau konflik secara damai. Ketua Muhammadiyah Din Syamsuddin mengadakan Forum Perdamaian Dunia (5th World Peace Forum (WPF) di Jakarta tanggal 20-23 November 2014 dan setelah peristiwa di Paris itu, banyak pakar Barat mengatakan bahwa Forum itu sangat berguna (Sumber: Fian Firatmaja). Beberapa pakar dari Amerika Serikat dan Eropa peserta Forum itu setelah peristiwa setelah terjadinya penyerangan kantor majalah mingguan Charlie Hebdo di Paris itu mengatakan bahwa apa yang dilakukan Muhammadiyah dengan mengadakan Forum Perdamaian guna belajar dari konflik masa lalu seperti di Ambon, Sulawesi, Aceh, Rwanda, Kosovo, dan lain-lain sangat tepat dan relevan. Saat mereka menghadirinya, dengan jujur mereka menganggap bahwa rasanya perbedaan di dunia sekarang ini hampir tidak ada lagi. Namun dengan terjadinya peristiwa di Paris itu mereka menganggap itu adalah gambaran penyelesaian perbedaan bukan secara damai. Bahkan mereka mengharapkan agar Muhammadiyah atau Pemerintah Indonesia meneruskan Forum dimaksud karena terbukti penyerangan di Paris sebagai contoh penyelesaian perbedaan bukan secara damai. Forum yang diselenggarakan oleh Muhammadiyah itu bekerjasama denga Cheng Ho Multi Culture Trust Malaysia, dan didukung oleh Centre for Dialogue and Cooperation among Civilizations (CDCC). Dalam Forum Perdamaian tersebut Ketua Muhammadiyah Din Syamsuddin mengatakan bahwa penyelesaian konflik di Indonesia bisa menjadi contoh bagi dunia dalam menyelesaiakn konflik atau perbedaan. Hal itu nampaknya tidak berlebihan, karena di sebuah seminar internasional tentang masa depan Asia, seorang pakar Jepang mengatakan bahwa tahun 2015 ASEAN akan menjadi satu masyarakat baru seperti Uni Eropa. Namun saat itu mereka akan menghadapi tantangan karena masyarakat Thailand yang dominan Budha, masyarakat Vietnam yang dominan komunis, masyarakat Malaysia yang dominan Islam belum tentu bisa menerima satu sama lain dengan pasar bebas itu. Yang menarik, pakar itu mengatakan bahwa Indonesia justeru sudah dapat menyelesaikan persoalan jenis itu dengan kehidupan masyarakat Indoneia yang harmonis. Lalu dia menampilkan gambar Mesjid Istiqlal, candi Borobudur, Gereja Katholik Kathedral, Gereja Protestan Paulus, Candi Hindu di Bali untuk menjelaskan bahwa di Indonesia hal seperti itu sudah bukan masalah lagi. Mereka menghadapinya dengan apa yang mereka namakan Pancasila. Media Barat mengatakan bahwa peristiwa di Paris ini merupakan bukti teori Samuel Huntington tentang pertentangan peradaban (Clash of Civilizations). Pakar dari Universitas Harvard itu memang mengatakan bahwa di masa mendatang akan ada konflik dengan berbagai dasar, termasuk agama. Namun mendengar pandangan pakar Jepang ini justeru Indonesia bisa menjadi etalase dunia yang bisa menjadi contoh bagaimana hidup harmonis tanpa konflik tadi. Kalau tahun 2015 ASEAN akan menjadi masyarakat baru dan beberapa negara masih harus belajar memahami masyarakat yang berbeda itu, maka orang asing berpandangan Indonesia bisa menjadi tempat belajar yang baik bagi mereka. Mungkin tidak salah jika pemerintah Perancis atau negara-negara Eropa dapat menjalin kerjasama dengan Indonesia atau Muhammadiyah untuk mengundang para pihak yang berbeda pandangan untuk membahas perbedaan itu secara damai sebagaimana yang dilakukan oleh Muhammadiyah dengan Forum Perdamaian Internasionalnya yang sudah lima kali diadakan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H