Cerita tentang delay pesawat Lion Air sudah sangat sering kita dengar, dari yang ringan sampai yang parah bahkan ada yang sampai membuat pemerintah harus turun tangan. Selain itu, jika kita buka wikipedia edisi bahasa Indonesia, disana terdapat daftar puluhan insiden yang pernah menimpa Lion Air.
Masih berani naik Lion Air?
Lalu bagaimana dengan Batik Air, anak perusahaan Lion Air?
Batik Air yang didirikan pada tahun 2013 ini, prestasinya memang masih lebih baik daripada induknya dari sisi delay. Tapi dari sisi insiden, saya mencatat sedikitnya ada 3 peristiwa yang cukup menonjol.
06/11/2015 Batik Air rute Jakarta – Yogya mengalami overshoot di Bandara Adisutjipto.
04/04/2016 Batik Air bertabrakan dengan pesawat Trans Nusa di Lanud Halim Perdanakusuma.
19/07/2016 Batik Air rute Ambon – Jakarta mengalami mati mesin setelah lepas landas dari Bandara Patimura.
Masih berani naik Batik Air?
Sebetulnya, kantor memberi saya jatah tiket Garuda untuk perjalanan Jakarta – Surabaya pp. Tapi setelah membaca berita insiden mati mesin Batik Air, saya malah memilih menggunakan Batik Air. Entah, mungkin ingin merasakan sensasi lain menggunakan pesawat yang terkenal karena insiden dan delaynya sebagai bahan tulisan di Kompasiana.
Tanggal 24/07/2016 jam 14.05 saya berangkat dari Halim PK Jakarta ke Juanda Surabaya menggunakan Batik Air dengan nomor penerbangan ID 7515. Alih-alih mendapatkan snack (atau uang Rp. 300.000) akibat delay berkepanjangan, ternyata pesawat berangkat on time!
Betul-betul on time jam 14.05 pesawat mulai bergerak meninggalkan apron. Oke-lah, mungkin ini suatu keberuntungan.
Tanggal 29/07/2016 giliran pulang ke Jakarta. Kali ini saya check in lebih cepat di Bandara Juanda untuk mendapatkan tempat duduk ideal. Saya memilih kursi nomor 11F dan persis disamping kanan saya ada jendela darurat bagian sayap. Pesawat lagi-lagi on time sesuai schedule jam 11.50 sudah mulai bergerak meninggalkan apron.
Tapi sebelum pesawat tinggal landas, kami, yang duduk dekat jendela darurat, di-brifieng dulu oleh pramugari karena kami ditugaskan untuk membuka jendela darurat apabila terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Pramugari lebih dulu menanyakan kesediaan kami untuk menjadi sukalerawan, jika tidak bersedia tentu akan tukar tempat dengan yang lain. Brifieng berlangsung singkat, padat tapi cukup jelas.
Penerbangan Surabaya – Jakarta berlangsung sangat normal seperti penerbangan sebelumnya. Tidak ada delay dan tidak ada insiden. Pelayanan selama penerbangan pun sangat baik sehingga tidak ada cerita spektakuler yang bisa saya bagikan di Kompasiana.
Dengan harga tiket setengah harga tiket Garuda atau sedikit lebih mahal daripada Citilink, saya cukup puas naik Batik Air, setidaknya sampai tulisan ini dibuat.
Yang jelas, jika ada Batik, kenapa pilih Lion?
**
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H