Saya mengikuti, sekaligus mengamati, diskusi pada sejumlah kelompok media sosial terbatas. Ditinjau dari latar belakang pendidikan, rata-rata pesertanya dari kalangan terpelajar. Sebagian besar sarjana dari berbagai perguruan tinggi dalam maupun luar negeri. Tak sedikit yang telah menyelesaikan pendidikan lanjutan S2 maupun S3. Status sosial-ekonominya juga terkategori menengah ke atas.
Hal yang menarik, sebagian besar diantara mereka yang rajin bertukar pendapat di grup-grup media sosial itu, umumnya tidak sedang bekerja atau menjabat di instansi pemerintahan maupun lembaga Negara. Mereka adalah para pengusaha atau profesional yang bekerja pada lembaga non pemerintah (swasta) dari berbagai bidang.
Biasanya, suasana diskusi menjadi meriah ketika ada yang melontarkan topik yang berkaitan dengan kebijakan pemerintah. Atau hal-hal yang menyangkut situasi sosial-politik yang sedang berkembang dinamis akhir-akhir ini.
Mestinya, saya menyempatkan diri untuk melakukan perhitungan statistik sederhana terlebih dahulu. Katakanlah tentang persentase jumlah peserta yang aktif terlibat diskusi. Sebab dari jumlah anggota yang terdaftar pada setiap grup itu, sesungguhnya hanya segelintir yang terlibat aktif. Rata-rata tak sampai 10 persennya. Itupun sudah termasuk mereka yang hanya nimbrung dan berkomentar singkat sekali-dua. Sementara 90 persen sisanya cenderung mengikuti secara pasif.
Sebetulnya, ada beberapa pejabat teras lembaga pemerintah --- maupun institusi negara lainnya --- yang juga bergabung sebagai anggota grup-grup sosial media tersebut. Tapi biasanya mereka sangat irit berpendapat. Bahkan pelit. Meskipun pembicaraan yang sedang berlangsung berkaitan langsung dengan aktivitas sehari-hari yang dilakoninya.
Mereka hampir tak pernah bersuara kecuali urusan ramah-tamah seperti menyampaikan salam, ucapan selamat pada yang berulang tahun, belasungkawa kepada yang sedang tertimpa musibah, dan sejenisnya. Di luar hal itu, sesekali ada juga diantaranya yang meneruskan kabar atau pernyataan resmi dari pemerintah. Hal yang wajar karena mereka memang berada di lingkaran kekuasaan.
Tapi bukan pendapat atau pemikiran pribadinya!
Alasan pertama, mungkin mereka memang sangat sibuk. Sebab, walau sekali pun hanya memberi tanggapan singkat, bisa dipastikan berondongan pertanyaan atau tanggapan susulan dari anggota lain segera bertebaran. Tentu bukan hal yang mudah. Selain kesibukan mereka yang luar biasa, diskusi yang berkembang bisa jadi bersangkut paut dengan sesuatu yang masuk kategori 'rahasia'.
Atau bisa jadi memancing interpretasi maupun prasangka yang berkembang liar dan akhirnya merepotkan yang bersangkutan sendiri. Jika demikian, mereka memang sebaiknya menyediakan diri untuk menjelaskan atau memberi tanggapan lanjutan. Supaya pernyataan atau komentar yang disampaikannya tak disalah pahami.
Alasan kedua, bisa jadi mereka tak memiliki kepiawaian menyampaikan pendapat dan pemikiran sendiri. Sebagai sosok-sosok yang terlibat langsung pada topik-topik yang sedang dibahas, mereka tentu lebih memahami dan menguasai persoalannya. Kadangkala hal yang berkembang dalam diskusi sebetulnya tak bersangkut paut dengan sesuatu yang tabu dibicarakan.
Hal yang dibutuhkan hanya sikap setara untuk saling asah, asih, dan asuh. Sebab keberadaan mereka pada sebagian besar group sosial media itu berangkat dari sejarah perkerabatan yang unik dan bukan bersifat sesaat. Di sana semestinya guyub dan tak ada hirarki.