Lihat ke Halaman Asli

Jilal Mardhani

TERVERIFIKASI

Pemerhati

Properti

Diperbarui: 29 Oktober 2017   22:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Berhubungan dengan kekayaan terhadap --- atau hak memiliki atas --- sesuatu. Pengakuan yang diperoleh dari pengorbanan, sebagai hadiah, atau hasil merampas dari yang lain. Tak hanya berwujud fisik seperti tanah, bangunan, kendaraan, dan sebagainya. Tapi juga berupa kekayaan intelektual.

Terkait properti yang berupa tanah dan bangunan, Indonesia hari ini sedang dihebohkan oleh 2 hal : Meikarta dan Reklamasi Teluk Jakarta yang akan melahirkan 17 pulau buatan. Masing-masing mencanangkan ratusan ribu hunian yang kelak sanggup menampung jutaan manusia untuk tinggal maupun beraktivitas di sana.

Keduanya hadir dengan penuh pertentangan yang menyita perhatian berbagai kalangan. Sebab di sana ada kesemerawutan wewenang, kesemena-menaan kekuasaan, kepongahan kapital, dan kekisruhan paham.

Kedua kasus itu sesungguhnya telah menyeret kita kembali jauh ke belakang. Melampaui masa menjengkelkan ketika Orde Baru berkuasa. Sebab ketika itu, kebenaran hampir mutlak di tangan Suharto, Presiden dan Kepala Negara Republik Indonesia yang mengendalikannya. Titah beliau sanggup meredam gemuruh suara yang bertentangan untuk berdamai. Meskipun semata demi kepentingan dan keuntungan kelompok-kelompok tertentu yang berada di sekitar singgasananya.

Baik Meikarta maupun 17 Pulau Reklamasi di Teluk Jakarta, sesungguhnya adalah jejak warisan yang tersisa dari masa kekuasaan Suharto. Tentang kekayaan atau hak milik yang kini 'digugat' meski sebelumnya 'mungkin' diperoleh dengan 'pengorbanan', sebagai 'hadiah', atau hasil 'rampasan'. Hanya saja sempat beralaskan pada ketentuan yang memiliki kekuatan hukum yang meskipun kacau-balau tetap harus dihormati.

Sayangnya, setelah Suharto dan Orde Baru tersingkir, kita tak pernah sungguh-sungguh membenahi kekacauan warisannya. Pekerjaan yang pasti tak mudah. Karena harus mengurai kekusutan tali-temali kekuasaan yang telah berlangsung absurd selama 32 tahun.

Demi sejumlah alasan pragmatis, mereka yang terlibat dalam kekacauan masa lalu, telah begitu saja diterima sebagai bagian dari upaya bersama membenahi kehidupan berbangsa dan bernegara yang disebut Reformasi. Tanpa kesepakatan dan kesepahaman agar bersungguh-sungguh tak mengulangi sikap dan prilaku lancung yang biasa dilakoni sebelumnya. Tanpa syarat perdamaian agar kekayaan atau hak milik yang dikuasai melalui pengorbanan, sebagai hadiah, atau merampas dengan cara 'keliru di masa lalu', tak lagi membebani langkah bangsa ini menapaki masa depannya. Tanpa ancaman serius agar semua tindak-tanduk dan prilaku tak senonoh dan tak semestinya dulu, tak lagi dilanjutkan maupun diulangi.

Mungkin kita terlalu angkuh dalam menyederhanakan gurita persoalan yang diwariskan Suharto dan Orde Baru-nya. Atau terlalu bersahaja menghadapi keculasan yang telah sempat mendarah daging dan menjadi kebiasaan. Atau terlalu gugup --- bahkan kecut dan takut --- untuk mengambil alih persoalan dan memperbaikinya.

+++

Bisnis properti di Meikarta maupun 17 Pulau Reklamasi pasti bukan penggerak utama perekonomian bangsa. Sebab ia hanya bergairah jika sektor-sektor yang menghadirkan nilai tambah dan kesejahteraan masyarakat menggelinding kencang dan bergemuruh.

Properti sejatinya sektor yang seketika memanaskan ketel ekonomi bangsa dengan ancaman ledakan yang dahsyat memporak-porandakan; jika negara melalui pemerintahannya yang berkuasa tak sungguh-sungguh hadir menengahi dan mengendalikan. Sebab ia adalah urat nadi pertama dari kapitalisme yang memperkokoh kehadiran segelintir di atas kepentingan publik.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline