Lihat ke Halaman Asli

Jilal Mardhani

TERVERIFIKASI

Pemerhati

Penipuan Dwi Hartanto dan Robohnya Media Kami

Diperbarui: 10 Oktober 2017   10:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi gambar adalah karya Nyoman Nuarta, 'Menembus Ruang dan Waktu', 1988, baja dan tembaga, 250x400 sqcm.

Kalau Kompas, Tempo, Metro TV, SCTV, Detik.Com, dan berbagai media Nasional utama lainnya bisa dibohongi seorang Dwi Hartanto --- termasuk sosok yang selalu 'digadang' sebagai ahli pesawat terbang yang juga mantan Presiden RI ketiga, Bacharuddin Jusuf Habibie--- lalu ke mana dan kepada siapa lagi kita percaya dan berharap kebenaran berita?

Inilah aib terbesar yang harus ditanggung bangsa Indonesia di tengah kecanggihan teknologi informasi dan media masa mutakhir. Sebab --- di saat melakukan proses uji silang kabar, konfirmasi fakta, dan bermacam kaidah jurnalistik baku lain jauh lebih mudah dan semakin mungkin dibanding sebelumnya --- mereka justru lalai dan abai.

Sesungguhnya kita telah gelisah ketika membaca temuan Yusof Ishak Institute --- sebelumnya dikenal sebagai Institute of Southeast Asia dan berdomisili di Singapore --- yang dipublikasikan September lalu. Penelitian yang dilakukannya bersama Lembaga Survey Indonesia terhadap 1.620 responden di seluruh Indonesia itu, menyimpulkan tingkat kepercayaan terhadap media massa hanya 67.2 persen. Atau berada pada urutan ke-9 dari 12 institusi yang ada pada daftar yang disajikan.

Di zaman yang serba instan dengan berbagai perubahan prilaku yang serba terburu-buru ini, media massa konvensional merupakan salah satu institusi yang terdesak. Keunggulan mereka --- baik yang bermakna komparatif maupun kompetitif--- semakin kabur. Bahkan mungkin menuju kepunahan jika mereka tak segera menemukan inovasi model bisnis yang mampu mentransformasikan dirinya.

Tapi sebelum itu, hal yang perlu mereka pertahankan adalah menegakkan disiplin dan kejujuran terhadap kaidah standar jurnalistik yang menjadi nilai dasar dan utama dari profesinya.

Bahwa gelombang perubahan tatanan akibat revolusi budaya digital ini tak terbendung lagi, adalah satu hal. Tapi sistem nilai dan kaidah pokok profesinya tetap harus ditegakkan. Meskipun  disertai dengan inovasi dan penyesuaian terhadap berbagai kekinian yang berlaku.

Sebelum berbenah diri untuk menemukan kembali jati diri kontemporernya, hal pertama dan harus mereka lakukan sekarang adalah mendemonstrasikan kesungguhan dan kejujuran. Publik membutuhkan penjelasan gamblang tentang 'kecerobohan' yang telah terjadi hingga seorang mahasiswa yang bukan siapa-siapa tapi sedang menempuh pendidikan di Belanda sana itu, mampu mempercundangi kesakralan institusinya.

Rasanya tak berlebihan jika kita berharap organisasi profesi yang menaungi mereka --- seperti Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Asosiasi Jurnalis Independen (AJI), maupun Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) --- ikut berperan aktif membenahi kekacauan ini.

Jilal Mardhani, 9-10-2017

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline