Lihat ke Halaman Asli

Jilal Mardhani

TERVERIFIKASI

Pemerhati

Drama KPK, Sutradara yang Pongah, dan Lakon yang Bebal

Diperbarui: 15 September 2017   16:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(ilustrasi gambar : 'tak-bir', karya Tisna Sandjaja, litografi, 2017)

Sebetulnya, soal perilaku korupsi yang hampir sempurna menjadi 'budaya' dapat dengan mudah dipahami. Sebab, korupsi adalah saudara kandung dan sulung dari perkoncoan tak senonoh (kolusi) maupun keberpihakan sesat (nepotisme).

Kita memang tak mungkin menuding kapitalisme, sosialisme, komunisme, bahkan pancasilaisme sebagai lingkungan subur yang mewadahinya. Walaupun korupsi-kolusi-nepotisme itu tak lagi sekedar endemi-- wabah penyakit yang menyerang dalam lingkup terbatas -- tapi sudah meluas (epidemi) bahkan mendunia (pandemi). 

Biang sejatinya adalah 'nafsu' yang bersemayam lekat pada setiap manusia. Tapi kita tak sedang membahas 'iman' yang mampu berperan ganda untuk mengendalikan sekaligus merayakannya. 

+++

Komisi Pemberantasan Korupsi -- disingkat sebagai KPK -- adalah lembaga negara yang dilahirkan melalui rahim Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 setelah wabah korupsi-kolusi-nepotisme berkembang biak dan menyebar luas selama berpuluh tahun. Kesadaran yang diikuti kesepakatan kolektif kita terhadap mara-bahayanya mencapai puncak ketika kekuasaan Suharto dan Orde Baru hampir membinasakan bangsa ini. Terpicu oleh kebangkrutan ekonomi tahun 1997-1998 yang kemudian menguak krisis multi-dimensiyang sesungguhnya. Bukan hanya pada peran dan fungsi lembaga eksekutif negara, tapi juga legislatif yang semestinya diisi oleh wakil-wakil yang sungguh-sungguh dari, oleh, dan untuk rakyat Indonesia. 

Memang bukan hanya Suharto yang didesak 'rakyat' untuk mundur meninggalkan jabatan dan kekuasaan yang dikangkanginya selama 32 tahun. Tapi juga legislator yang resmi terpilih mengisi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) melalui Pemilihan Umum tahun 1997 sebelumnya. Masa jabatan dan kekuasaan mereka yang terpilih saat itu mestinya hingga 5 tahun kemudian (2002). Tapi menyusul runtuhnya nilai tukar rupiah, melonjaknya harga-harga, dan kelangkaan bahan pokok waktu itu -- mereka yang sesungguhnya bertanggung jawab karena mewakili rakyat Indonesia karena memilih dan menetapkan Suharto naik kembali sebagai Presiden kita -- kemudian dipaksa turut berakhir dengan menunaikan satu amanah tersisa: menyelenggarakan Pemilihan Umum ulang terhadap wakil-wakil rakyat 'baru' yang berasal dari aneka partai politik yang menjamur setelahnya.

Maka sejak Pemilui 1999, sebagian anggota Dewan Perwakilan Rakyat di tingkat pusat hingga daerah, merupakan wajah-wajah baru yang sebelumnya berada di luar lingkaran kekuasaan Suharto dan Orde Baru. Memang tak semuanya tokoh anyar. Banyak juga wajah lama yang dikenal luas sebagai bagian maupun kroni Orde Baru yang menyebar dan menyusup diantara partai-partai baru itu. Sebab Gerakan Reformasi yang disepakati memang bukan ditujukan untuk memberangus -- apalagi membinasakan -- saudara sebangsa dan setanah air. Meskipun mereka dan kelompoknya telah nyata terbukti keliru, menyusahkan, dan menyebabkan kita semua cemas dan terpuruk. Tak seperti sikap yang dipilih Indonesia terhadap pengikut PKI dan komunisme setelah gagal melakukan upaya kudeta tahun 1965 lalu.

Gerakan Reformasi sejatinya dicanangkan sebagai upaya koreksi seluruh bangsa terhadap perkeliruan kolektif dalam menyikapi budaya korupsi-kolusi-nepotisme yang pernah demikian merajalela. Prilaku yang membuka jalan bagi kehadiran rezim pemerintahan represif dan otoriter. Ketika itu kritik, pandangan, maupun suara yang berbeda dengan selera penguasa bisa -- dan pernah -- dituding sebagai pengkhianat dan musuh bersama.

Dengan kata lain, Gerakan Reformasi yang bergulir setelah eskalasi persoalan bangsa mencapai puncak ketika sejumlah mahasiswa Universitas Trisakti tewas diterjang peluru aparat saat berunjuk rasa -- diikuti oleh peristiwa penjarahan massal yang menyertakan begitu banyak korban terbunuh dan diperkosa -- adalah ikhtiar dan upaya bersamaseluruh rakyat untuk bangkit kembali, memperbaiki kekeliruan, memperkokoh persatuan, dan mengejar ketertinggalannya menggapai cita-cita yang dicanangkan ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaan lebih dari setengah abad sebelumnya.

+++

Tapi jangan bayangkan tersebarnya kabar tentang keadaan yang berlangsung di Nusantara hampir 20 tahun lalu itu seperti sekarang. Seperti ketika pengawal yang membisikkan pesan Ibu Negara agar Presiden merapikan rambutnya yang berantakan saat berpidato di depan khalayak di Singapura beberapa waktu lalu yang bisa segera viral -- tersebar luas -- hanya dalam hitungan menit. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline