[caption caption="Kaki-kaki yang Berjalan (wearemodeshift.org)"][/caption]Jika tak ada unjuk rasa menentang kehadiran aplikasi online untuk layanan taksi minggu lalu, mungkin saya belum meluangkan waktu memperhatikan UU No. 22 tahun 2009 yang mengatur lalu-lintas dan angkutan jalan.
Seluruh undang-undang itu dituangkan dalam 203 halaman. Termasuk penjelasan pasal demi pasalnya. Empat kali lipat dibanding UU 14/1992 yang digantikannya (dituangkan dalam 52 halaman termasuk penjelasan). UU 22/2009 terdiri dari 22 bab dan 326 pasal. Sementara yang sebelumnya, UU 14/1992, hanya 16 bab dan 72 pasal.
Lalu, apakah banyaknya halaman maupun jumlah bab dan pasal pada undang-undang terbaru yang diluncurkan pada era Soesilo Bambang Yudhoyono itu lebih baik, lebih maju, dan lebih sesuai dengan tuntutan zaman dibanding UU 14/1992 yang ditanda-tangani Soeharto?
Menurut saya sama sekali tidak!
Sebelumnya, UU 14/1992 hampir selalu memberi cek kosong kepada pemerintah untuk menyusun aturan pelaksanaan setiap ketentuan yang diatur di dalamnya. Sementara itu, UU 22/2009 hanyalah meneruskan gaya rancang-bangun yang hampir sama dengan penonjolan pernak-pernik yang lebih detail dan ramai semata. Di beberapa bagian justru lebih sekedar legitimasi terhadap susunan dan kedudukan birokrasi yang berpotensi koruptif. Tak ada perubahan substansial dan mendasar yang menanggapi tuntutan permasalahan yang dihadapi. Juga kebutuhan reformasi berbangsa dan bernegara dalam hal berlalu-lintas dan angkutan jalan yang harapannya pernah mencuat ketika rezim Soeharto lengser pada tahun 1998 lalu.
PENGANGKUTAN
Jalan adalah elemen utama yang paling penting dalam tatanan hidup manusia. Dimanapun dan sampai kapanpun. Sepanjang kehidupan kita di dunia ini masih tak mampu melepaskan diri dari urusan gaya grafitasi bumi. Bukan gratifikasi.
Manusia memang memerlukan ruang melintas untuk berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Entah menggunakan kendaraan ataupun tidak. Sekedar melayani kebutuhan perpindahan dirinya dan/atau manusia lain, atau bersama dengan barang yang dibawanya. Ruang tempat melintas itu kemudian disebut jalan. Ruang yang tak hanya digunakan oleh seorang atau sekelompok manusia tertentu. Tapi juga dimanfaatkan oleh yang lain secara umum.
Maka jalan memang berurusan dengan kepentingan publik. Hajat orang banyak dengan kepentingan dan dampak yang lebih luas dari urusan orang per orang. Itulah sebab negara diperlukan dan harus hadir disana. Ia akan mewakili kepentingan seluruh kita tanpa kecuali. Pada ranah itu, kekuasaan negara sesungguhnya tak diperkenankan berpihak selain pada kepentingan umum. Jika karena satu dan lain hal ada pihak atau kelompok yang harus atau perlu dikorbankan maka - melalui pemerintah - negara wajib menyediakan kompensasi yang setara dan memadai. Memastikan perlakuan yang seadil-adilnya.
Manusia maupun barang yang berpindah memang bisa melintas di air maupun udara. Tak selamanya di darat walau tetap akan kembali ke darat. Jadi pengangkutan darat adalah yang terutama. Karena manusia tak memiliki insang untuk bernafas di dalam air sehingga ia tak bisa selamanya hidup dan beraktivitas di sana. Juga tak memiliki sayap untuk bisa terbang sesuka hati menjalankan hidup sepenuhnya di udara.
Maka tatanan pengangkutan darat menjadi demikian penting. Disana terdapat simpul-simpul yang mengintegrasikan layanannya dengan moda pengangkutan yang lain. baik dengan lintasan pergerakan yang berbasis air ataupun udara. Simpul-simpul integrasi itu biasa kita sebut sebagai pelabuhan (seaport) ataupun bandar udara (airport). Oleh karenanya pengangkutan darat (land transportation) adalah ibu dari semuanya.