Lihat ke Halaman Asli

Jilal Mardhani

TERVERIFIKASI

Pemerhati

Savior

Diperbarui: 5 Februari 2016   11:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Merah Putih"][/caption] Alih-alih meringankan beban dan derita rakyat yang dibujuk-rayu menyerahkan amanah padanya, pemangku kekuasaan justru sibuk mempertontonkan keangkuhan. Mereka bertikai, saling cerca dan ber-'bunuh'-an.  

INDONESIA SEMU

 Kita pernah, dan masih sepakat bahwa penegakan hukum di negeri ini, khususnya soal korupsi-kolusi-nepotisme, teramat lemah. Lembaga terkait yang bertugas dan bertanggung-jawab menumpasnya justru disimpulkan tak mampu sehingga perlu mengadakan lembaga sementara waktu (ad-hoc) yang disebut KPK. Tapi sejak hari pertama keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi itu, justru berbagai kontroversi yang selalu disuguhkan. Orang-orang pilihan yang dipilih dan terpilih di sana terus diguncang. Sebagian besar dimotori oleh mereka yang secara 'de facto' bermasalah walau belum tersimpulkan secara 'de jure'. Dugaan konspirasi kekuasaan begitu kental. Kasar. Norak. Sayangnya, kita cuma bisa menduga-duga. Hingga kini, semua itu memang sulit dibuktikan menggunakan kaidah formalitas hukum yang ada. Walau yang kasat mata terbentang, mustahil berterima dengan akal sehat. Mungkin, pengakuan formal kita pada budaya korupsi-kolusi-nepotisme sebagai akar masalah bangsa, tak pernah disertai dengan penyesalan dan kesadaran yang penuh dan utuh untuk tak mengulanginya. Padahal, formalisasinya telah kita suratkan secara tegas melalui perundang-undangan (lihat UU 31/1999 dan turunannya). Tapi hal yang berlangsung setelahnya bukan tentang penyempurnaan. Kita justru sibuk mencari-cari kelemahan dan kekurangan. Untuk menampik dan mengelak. Mereka lebih sibuk berkelit. Celah dan lubang-lubang yang menganga disana-sini bukan ditutup. Tapi dengan sengaja dikorek-korek. Digali lebih dalam. Kalau perlu, membuat lubang yang baru! Seolah sengaja memupuk rasa putus-asa. Juga membantah harapan. Tatanan legalitas formal yang ada memang penuh 'jebakan'. Jauh dari sempurna. Saat penyusunannya terlihat sangat kental mengakomodasi kepentingan kelompok pelanggeng kekuasaan lampau. Mereka telah menyusup ke dalam. Memanfaatkan peluang. Merekayasanya. Menjadikan tameng untuk menyangkal kebenaran yang kasat mata. Akumulasi jerih payah dan kepiawaian mereka sulit terbantah. Kita hanya mampu terhenyak tak berdaya ketika disuguhkan tontonan laku Setya Novanto bersama para pendukung yang bersikap total tanpa tedeng aling-aling membelanya pada episode 'Papa Minta Saham' kemarin. Makna dan pemahaman etika yang semestinya hanya soal ‘kepatutan dan kepantasan’ telah berputar-balik. Masyarakat terkejut. Bingung. Dan bengong. Hal yang nyata-nyata tak masuk akal terus dipaksakan sebagai kewajaran. Walaupun secara amat tak patut dan sangat tak pantas. Mereka sedang menihilkan yang nyata dan ada!  

INDONESIA SUSUT

 Kenyataannya memang semakin banyak masyarakat yang kian merasakan harapan yang menjauh. Lakon yang dipertontonkan seolah sengaja menciptakan ‘budaya dan prilaku’ apatis. Kita diharapkan gugur satu per satu! Cobalah 'blusukan' ke sanubari siapa saja di berbagai penjuru Nusantara yang (pernah) permai ini. Mulai mereka yang hidup di ibukota republik sampai dusun di kaki gunung, desa di pinggir sawah, maupun kampung di tepi pantai. Dari lapisan yang hidup nyaman di griya tawang hingga mereka yang sehari-hari terlelap beralaskan tikar atau kardus bekas di atas lantai tanah. Hampir tanpa kecuali, semua mencibir. Tak hendak menghiraukannya lagi. Kesimpulan massal yang mutlak soal politik, pemerintahan, dan demokratisasi sosial-ekonomi-budaya hanya pepesan kosong semata, terasa begitu dekat. Seandainya ada keraguan yang bersisa, mungkin hanya pada sekelompok yang teramat kecil. Segelintir mereka yang kini justru leluasa mempertontonkan kepongahan dan keculasannya. Jadi, Indonesia bukan dijerat! Ia justru terjerat oleh laku dan budayanya sendiri. Hal yang kemudian menyebabkannya mudah dipermainkan. Masuk dalam labirin yang penuh jebakan. Oleh ketakutan, kelicikan, kesombongan, dan kerakusan segerombolan manusianya. Dan memang tak ada yang sekonyong-konyong. Kekayaan alam yang hampir habis terkuras - dan sisanya pun kini disandera kepentingan privat maupun asing - bukan diperkosa, tapi justru dilacurkan. Kita tak me-manusia-kan diri kita sendiri. Tapi justru mengerdilkannya secara terencana. Melalui kekuasaan yang tak lelah mempertontonkan kesemena-menaannya. Langsung ataupun tidak, kita diteluh hingga tak berdaya untuk membiarkan mereka menggerogoti dan memiskinkan semangat luhur. Kebersamaan. Gotong-royong. Pantang menyerah. Tolong-menolong. Saling menghormati. Sopan-santun. Hingga cinta dan kebanggaan kepada Bangsa dan Tanah Air sendiri! Ketika yang lain berlomba mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, Indonesia sibuk mengkampanyekan produksi buruh dan tukang. Bukan pemikir, inovator, dan pemimpin! Masyarakat luas dibina untuk memangkas cita-citanya hanya sampai sekolah kejuruan yang dalam perjalanan waktu kalah tanggap dengan tuntutan modernisasi teknologi. Kitapun lengah dan tak pernah sungguh-sungguh mengupayakan nilai tambah dari kekayaan sumber daya alam yang ada. Bahkan untuk sekedar mengembangkan swa-produksi terhadap berbagai kebutuhan mendasar yang dikonsumsi rakyat sehari-hari. Sesederhana apapun itu! Atas nama kebutuhan, kita justru disibukkan dengan perburuan rente untuk mengadakannya dari luar. Tak pernah menggubris peta jalan (roadmap) untuk menyiasati ketergantungannya. Di sisi lain, di tengah ketidak berdayaan mengupayakan swadaya, kita justru sibuk mengamini penghapusan tarif dan bermacam bentuk proteksi yang gigih diperjuangkan bangsa lain yang jauh lebih siap. Sementara, semua itu sesungguhnya hanya dan masih berpeluang dinikmati oleh sebagian kecil masyarakat kita. Pelan tapi pasti, Indonesia memang tak sanggup lagi menopang kemewahan menyantuni hidupnya yang hampir sia-sia. Hutang membengkak. Anggaran yang boros, bocor dan tidak produktif. Kemampuan yang rendah untuk menyediakan sendiri kebutuhan sehari-harinya yang terus berkembang dan juga meningkat. Sementara itu, pintu semakin terbuka lebar bagi modal dan kreditur asing yang lihai menjerat kelalaian kita sendiri. Semua mengantar Indonesia yang ingin kita banggakan ini pada gelombang krisis bergulung-gulung yang niscaya.  

INDONESIA PANDIR

 Selama 32 tahun Soeharto berkuasa, ia menerapkan otoritarianisme terselubung di balik falsafah Pancasila. Hingga akhirnya ia terguling. Lalu, kecelakaan demi kecelakaan sejarah itupun terjadi! Bermula pada saat yang bertepatan dengan peluang berbenah yang hadir di tengah situasi kacau balau, paska kejatuhan Presiden Kedua Republik Indonesia itu. 

Pertama, soal Golkar.

Selain mencengkram militer, konglomerasi politik Golongan Karya merupakan organisasi andalan Soeharto untuk mengelola dan mempertahankan kekuasaannya di masa itu. Kelihaian, kecerdikan, dan sekaligus kelicikannya berhasil menyatukan berbagai kalangan ke dalamnya. Bahkan putra-putri terbaik Indonesia yang ingin berkarya dipaksa bertekuk lutut ke sana. Mencoba berdiri di atas kaki sendiri tanpa menggubrisnya hampir mustahil, bahkan di lorong-lorong yang senyap sekalipun.

Ketika Soeharto runtuh, kejengkelan publik padanya - sebagaimana pula pada gerombolan yang setia mendukungnya - menyeruak ke permukaan. Suara-suara yang menghendaki pembubaran Golongan Karya nyaring terdengar dimana-mana. Setidaknya keinginan menghukum mereka untuk tidak tampil di panggung sementara waktu.

Tapi mereka sungguh lihai.

Desakan publik itu tak dihadapinya secara frontal dan membabi-buta. Mereka bergerilya pada setiap celah rapuh yang ada. Diantara begitu banyak soal yang perlu segera dituntaskan. Mulai pelucutan peran dwi fungsi ABRI yang sebelumnya terlibat dalam kehidupan sehari-hari masyarakat sipil. Pemisahan Kepolisian agar khusus untuk menjaga ketertiban dan memelihara keamanan masyarakat, dengan TNI yang ditugaskan melindungi kesatuan Tanah Air dari berbagai ancaman luar. Referendum soal kelangsungan Timor Timur sebagai propinsi termuda kita. Tentang perluasan otonomi sehingga daerah-daerah lebih berkuasa dan leluasa mendaya-gunakan sumberdaya dan mengelola dirinya sendiri. Mematuhi dan memenuhi berbagai janji yang disepakati dengan IMF sebelum ‘menolong‘ kita untuk melepaskan diri dari kebangkrutan ekonomi. Pengusutan biang kerok kerusuhan 1998 yang terjadi sebelum Soeharto lengser dan berakhir dengan pemberhentian Letnan Jenderal Prabowo Subianto. Hingga mempersiapkan ulangan pemilihan umum yang menyertakan belasan peserta baru diluar 3 kontestan tetap yang diakui Orde Baru sebelumnya.

Gerilya mereka untuk meyakinkan agar tidak dilarang ikut bersaing dalam tatanan politik yang baru, bertemu dengan keluhuran budi pekerti bangsa yang menjunjung semangat persaudaraan dan kebersamaan ini. Lalu Indonesia ikhlas memaafkan mereka yang sebelumnya pernah 'mengkhianati' dan 'merugikan' kita semua. Kita malah menggandeng mereka untuk bersama-sama mengejar ketertinggalan membangun dan membenahi negeri ini. Kita tak ingin mengulang kecerobohan sekaligus pengalaman pahit yang pernah mereka lakoni tatkala berkuasa sebelumnya. Membumi hanguskan PKI setelah tragedi G30S 1965 itu tak perlu dicontoh. 

 

Kedua, soal ikatan alumni ‘Akademi dan Balai Latihan Soeharto

Setelah Orde Baru yang represif bubar, kita beramai-ramai mengidolakan sistem demokrasi yang baru. Sesuatu yang bercirikan kemerdekaan dan kebebasan (yang bertanggung jawab) setiap individu maupun kelompok untuk berserikat, berkumpul, dan berekspresi. Kesamaan hak dan tanggung-jawab di depan hukum

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline