Lihat ke Halaman Asli

Jilal Mardhani

TERVERIFIKASI

Pemerhati

Dekolonisasi Penyiaran

Diperbarui: 5 November 2015   19:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Berikut ini adalah Bagian Pertama, Bab 3, draft tulisan yang berjudul "Menakar Peluang Revolusi Pertelevisian Indonesia: Industri Budaya yang Salah Urus". Bab 1 dan Bab 2 telah dipublikasikan sebelumnya dan dapat dilihat pada link-link di bawah ini :

http://www.kompasiana.com/jilal.mardhani/menakar-peluang-revolusi-pertelevisian-indonesia-industri-budaya-yang-salah-urus-1-1_562a527950f9fd0411c2d2d2

http://www.kompasiana.com/jilal.mardhani/menakar-peluang-revolusi-pertelevisian-indonesia-industri-budaya-yang-salah-urus-1-2_562f13cfb37a61160c37f24c

Sebagaimana kedua bab yang terdahulu, tulisan ini disusun pada tahun 2008 dan untuk publikasi ini belum dilakukan penyuntingan maupun pengkinian data. Oleh sebab itu, mohon dapat dimaklumi jika nuansa yang tergambarkan adalah suasana hingga tahun 2008. Meski demikian, esensi dari hal yang ingin disampaikan mudah-mudahan dapat tergambarkan.

Berbeda dengan 2 tulisan terkait sebelumnya, kali ini judul yang digunakan sama dengan judul bab-nya.

__________________________________________

 

MENAKAR PELUANG REVOLUSI PERTELEVISIAN INDONESIA: INDUSTRI BUDAYA YANG SALAH URUS

Bagian I : Kendali yang Terlepas

Bab 3 - Dekolonisasi Penyiaran

Semestinya, pemerintah Orde Baru, dengan pengalaman lebih dari 20 tahun mengendalikan kegiatan pertelevisian, cukup memahami langkah- langkah antisipatif yang perlu dilakukan untuk menghadapi hadirnya lembaga penyiaran yang dikendalikan modal swasta. Departemen Penerangan sebagai organ pemerintah berkuasa yang bertugas dan berwenang, seharusnya sangat paham perlunya sebuah cetak-biru sebelum media pertelevisian berkembang menjadi sebuah kegiatan industri.

Tatanan masyarakat dunia, ilmu pengetahuan, dan teknologi memang terus berkembang sehingga perubahan adalah sebuah keniscayaan. Keterbukaan dan kebebasan berpendapatan merupakan hak dasar masyarakat yang wajib dipenuhi karena merekalah pemilik sesungguhnya negara ini. Campur tangan dan kendali pemerintah - yang notabene menerima mandat dari rakyat untuk mengurus negara - terhadap media massa, termasuk televisi, memang tidak semestinya. Kita sepakat agar sistem politik dan pemerintahan harus berjalan secara demokratis sesuai dengan amanah konstitusi.

Tapi menuju semua itu dibutuhkan sebuah proses, rangkaian tahap-tahap yang disusun berdasarkan kemampuan dan pengalaman yang ada; sesuatu yang menjelaskan sikap dan visi pemimpin yang bercita-cita mengantar bangsanya kepada masa depan yang lebih baik.

Fenomena yang terjadi pada industri pertelevisian Indonesia setelah tahun 1989 layak dianalogikan dengan proses dekolonisasi yang dialami bangsa ini ketika lepas dari penjajah. Kehadiran RCTI seolah sebuah revolusi yang menghantarkan kemerdekaan bagi masyarakat pemirsa dari hegemoni ‘pendudukan’ TVRI. Dengan menggunakan analogi itu - sebagaimana yang dijelaskan Koentjaraningrat tentang makna revolusi (lihat Catatan #1) - kita telah menyaksikan terjadinya proses penjebolan norma-norma dan aturan- aturan lama yang sebelumnya dipatuhi ketat oleh TVRI. Dan sang pahlawan yang berada di garis depan adalah RCTI!

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline