Lihat ke Halaman Asli

Warisan

Diperbarui: 17 Juni 2015   16:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Mesin- mesin mobil itu menderu-deru. Pekikan klakson dan suara teriakan kernek memenuhi angkasa raya. Manusia berjalan laksana saling berkejaran memburu waktu. Di antara para pejalan kaki, kucium keringat yang beraneka ragam, ada keringat harum milik para orang kaya atau keringat yang agak asam dari ketiak-ketiak mahasiswa . Aku seperti terhimpit di antara jejalan kaki-kaki mereka. Andai aku tak sigap sudah berapa kali terinjak.

Kususuri pinggiran jalan dengan kakiku yang terpincang-pincang. Mataku tak pernah lengah memperhatikan sekelilingku. Siapa tahu ada sesuatu yang bisa dimakan. Maklum aku benar benar kelaparan. Perutku belum mendapat sesuatu yang berarti selain sisa-sisa saus dan kuah yang hanya bisa kujilati.

****

Tak banyak yang tahu siapa aku. Namaku Dolly. Tapi aku bukan sejenis kambing. Aku anjing tulen dan sangat berbeda dengan Si Dolly yang jadi ikon ilmiah itu. Dolly bukanlah nama pemberian Ibuku sebab ibu anjing tak pernah memberi nama anak- anaknya seperti manusia. Dolly adalah nama pemberian majikanku saat aku masih berada di rumahnya. Dulu aku dan ibuku dipelihara oleh sebuah keluarga di kota ini. Akupun dilahirkan di rumah keluarga itu. Mungkin rupaku yang manis dan imut membuat anak majikanku gemas dan memberiku nama Dolly. Ya, karena anak majikanku, Willy, yang menamaiku.

Dulu aku sangat bahagia tinggal di rumah itu. Mereka sangat baik padaku, apalagi si Willy, dia sangat menyayangiku.Begitu pula sebaliknya, akupun sangat sayang padanya. Dia selalu menggendongku dan membelai bulu-buluku. Dia paling suka jika kujilati wajahnya dengan lidahku. Singkat kata kami berteman baik dan selalu bermain bersama setiap hari.

Tapi suatu hari semua itu berakhir.

Waktu itu aku berjalan-jalan di luar pagar rumah bersama si Willy. Saat aku dan Willy tengah berlarian tiba-tiba sebuah sepeda motor melaju dengan kencang dari arah belakangku. Waktu itu aku hendak berbelok. Karena aku tak menengok ke belakang, lagipula aku juga tak punya kaca spion seperti motor itu, bisa diduga motor itu menghantamku dengan tepat. Aku langsung terkapar dan tak tahu apa yang barusaja terjadi pada diriku. Aku baru sadar setelah berada di rumah sakit. Kubuka mataku perlahan-lahan di atas pembaringan. Rasanya berat sekali. Seperti ada batu yang menindis kepalaku. Pertama kali yang kulihat adalah wajah Willy. Ia tampak begitu sedih. Airmatanya menetes setitik. Kucoba mengingat kembali kejadian yang membuatku berada di rumah sakit itu. Lalu pandanganku turun ke sekujur badanku. Saat itulah aku baru menyadari apa yang sesungguhnya sedang berlaku pada diriku.

Hampir seluruh tubuhku terbungkus perban. Tapi aku tidak tahu apa yang terjadi pada tubuhku. Yang kurasakan hanyalah sakit dan nyeri. Kulihat salah satu kakiku juga diperban. Tapi aku heran kenapa kakiku lebih pendek dari biasanya. Tapi sekali lagi aku tidak tahu apa yang terjadi pada kakiku. Aku hanya heran kenapa kakiku bisa lebih pendek seperti itu. Akhirnya aku tahu setelah kudengar percakapan antara dokter hewan yang merawatku dengan ayah Willy. Katanya kakiku baru saja diamputasi dan aku harus dirawat secara intensif. Bahkan istilah amputasi pun baru kumengerti sesaat setelah Willy mengatakan secara terang kenapa kakiku harus dipotong.

****

Akhirnya aku dirawat selama tiga bulan. Dan selama tiga bulan itu pula aku tidak dapat menggerakan tubuhku dan sama sekali tak dapat beraktifitas kecuali dengan bantuan Willy. Tulang punggungku yang patah benar-benar membuatku menderita. Hari-hari kulewati begitu membosankan. Aku ingin bangkit dan berlari. Tapi berulang kali aku hanya dapat menyesali semuanya. Kakiku tak lagi empat dan tulang badanku tak lagi kuat. Aku hanya menunggu kepulihan meski tak akan mengembalikanku seperti sedia kala.

Lama lama aku dapat menggerakan sedikit demi sedikit badanku. Meski sakit aku terus mencoba. Pada puncaknya aku sangat berterimakasih kepada Tuhan saat aku dapat bangkit dan berdiri meski tak pernah tegak. Hari hari berikutnya kondisiku semakin membaik, aku dapat berjalan meski harus berlatih dengan keras karena aku harus berjalan hanya dengan tiga kaki saja. Kadang aku terjatuh tapi kucoba bangkit dan terus berjalan. “ Aku anjing yang kuat” hiburku dalam hati.

Tapi aku merasa ada yang berbeda dari prilaku Willy kepadaku. Ia taksedekat dulu lagipadaku. Ia lebih suka bermain sendiri dan jika aku mendekatinya, ia memilih menghindar dan berlalu dariku. Bahkan kadang ia lupa memberiku makan karena asyik dengan mainannya. Ya, sejak aku sakit, Ibunya membelikan mainan baru untuknya, robot dan mobil-mobilan.Aku hanya dapat menatapnya sedih lalu pergi menjauh darinya.

Kucoba mencari tahu apa yang membuatnya berubah dan tak lagi memedulikanku. "Mungkinkah mainan itu lebih menarik daripada aku?", tanyaku dalam hati.

Saat itu aku duduk di taman di pinggir kolam. Willy sedang bermain-main di dalam rumah. Aku tak mau mendekatinya karena pagi itu sehabis mandi ia sempat menendangku. Ia hendak masuk ke kamarnya saat aku tertidur di depan pintu kamarnya. Ia menyuruhku pergi tanpa mau menyentuhku sedikit pun, Padahal dulu, sebelum kecelakaan itu, ia pasti akan menggendongku untuk memindahkan tubuhku. Aku bergeser perlahan sebab tak mudah bergerak dengan cacat yang kuderita. Rupanya ia tak sabar lalu menggeser badanku dengan ayunanan tendangannya yang keras seraya mengumpat “Dasar anjing payah”. Tapi akhirnya ia berhasil menepisku ke pinggir dengan tendangannya itu. Aku bersyukur karena tak harus bangkit berdiri meski diiringi rasa sakit yang sangat pada bekas patahan tulang punggungku.

*****

Aku menatap kosong pada riakan air kolam yang menari-nari dihempas angin pagi. Ibuku mendekatiku lalu duduk di sebelahku, "Nak, apa yang kau pikirkan?” tanyanya padaku sambil merapatkan badannya padaku. Begitulah cara kami berpelukan.

Aku menatap wajahnya yang sendu. Tampaknya ia tahu apa yang sedang aku rasakan dari tatapan matanya. Ya, dari tatapan matanya aku tahu segalanya tentang dia. Ibuku lalu berkata “Sabarlah dan maklumilah saja. Semuanya memang harus begini. Mereka tak lagi memedulikan kita sebab kita tak lagi menarik. Lihatlah Ibu!. Buluku kini tak lagi halus seperti dulu. Wajarlah kalau mereka sekarang memperlakukanku sekedar sebagai anjing penjaga. Dan kau lihatlah ke kolam. Lihatlah betapa buruk rupamu sekarang, Nak!”

Aku lalu mengalihkan pandanganku ke air kolam. Meski air itu beriak aku dapat melihat dengan jelas betapa buruk rupaku persis seperti apa yang ibuku bilang. Sebagian besar kulitku terkupas meski sudah kering. Bahkan di dahiku terlihat jelas bekas 20 jahitan. Belum lagi caraku berjalan yang terpincang-pincang. Sunguh sempurna keburukan rupaku.

“Kasihan sekali kamu, Nak. Seharusnya hari ini kamu masih menarik, kamu harusnya masih cantik dan kamu seharusnya masih bisa bermain-main dengan Willy. Kenapa secepat ini kau akan diabaikan. Maafkan Ibu yang tak bisa menolongmu” ungkap ibuku dengan suara bergetar dan matanya yang berkaca kaca.

“Lalu apa yang harus kita perbuat, Ibu?". Sekarang aku takut mendekati Willy karena ia sudah berani berbuat kasar kepadaku”.

Ibuku diam dan hanya menatap mataku. Lalu airmatanya jatuh. Dan kami diam menatap kolam.

Malam itu saat pembantu di rumah itu membukakan pintu pagar untuk ayah Willy yang barupulang dari kantor, Ibuku memberi kode untuk menerobos keluar. Kami lalu berlari sekencangnya meninggalkan rumah itu. Pembantu itu mengejar kami sambil memanggil-manggil “Doggy! Dolly! Kalian mau kemana, ayo kembali!”. Tapi kami tak memedulikannya dan terus berlari sambil meneteskan airmata. “Selamat tinggal, Willy!, mungkin kini saatnya kau dapatkan teman baru yan lebih manis dariku” bisikku dalam hati.

****

Aku berjalan sendiri menyusuri jalanan ini. Tak lagi bersama Ibu karena ia sudah pergi. Ia sudah pergi dan tak lagi kembali setelah seorang satpam kantor mengakhiri hidupnya dengan pukulandi kepala. Waktu itu ibuku sangat lapar. Ia hendak mencuri makanan yang dihidangkan di meja-meja di sebuah resepsi kecil-kecilan di depan kantor itu. Tapi satpam itu memperhatikannya lalu mengejarnya sampai di belakang kantor. Ibuku terbunuh dengan darah yang mengucur dari kepalanya. Kulihat tubuhnya diseret dan diangkat ke mobil sampah. Aku sama sekali tak dapat menolongnya. Aku hanya menyaksikan dari jauh kejadian yang memilukan itu.Kalau aku mendekat tentu aku tak akan hidup sampai sekarang. Aku hanya bisa memendam kepiluan sampai mobil yang membawa jasad ibuku itu berlalu tanpa jejak.

****

Pada langkahku yang entah keberapa aku berhenti. Kudekati tong sampah yang ada dihadapanku. Kupanjat tong itu dengan satu kaki depanku sementara dua kaki belakangku menopang tubuhku agar aku dapat berdiri tegak. Tong ini lumayan tinggi sehingga tak mudah mengintipnya apalagi mengambil makanan jika memang ada.

Akhirnya, aku tersenyum lega. Kulihat ada dos bekas nasi yang tampak masih bersisa. Apalagi ada juga tulang ayamnya. Air liurku menetes ringan. Aku begitu bersemangat. Kuungkit badanku dengan kedua kaki belakangku agar bisa kucondongkan kepalaku ke dalam untuk mengambil dos itu dengan gigiku. Payah sekali, dos itu tak kujangkau. Kucoba mengitari seluruh sisi tong untuk mendapat jarak terdekat dengan dos itu. Ahai, aku dapat posisi yang terdekat. Sepertinya agak mudah meski susah juga.

Kujinjitkan lagi kedua kaki belakangku. Kudekatkan kepalaku ke dos itu. Terus. Ayo. Aku pasti bisa. Dan ya...ya....ya.....sedikit lagi gigiku sampai pada bagian terujung dos itu. Dan....ahhhhh. Tiba-tiba aku terperanjat kaget saat tangan kecil seorang anak meraih dos itu. Anak itu tampak kumal dan tentunya lapar. Kulihat wajahnya begitu riang melihat isi dos itu. Dimakannya sisa nasi itu dengan lahap. Tak sedetik pun matanya memerhatikanku. Sepertinya ia benar-benar kelaparan. Aku hanya terdiam sambil menelan liur sendiri menyaksikan anak itu. Biarlah kurelakan saja nasi itu. Mungkin ia lebih lapar dariku. Akhirnya kutinggal anak kecil itu dan kulanjutkan langkahku menyusuri jalanan.

****

Di trotoar, dari kejauhan kulihat benda bulat kekuningan terbungkus plastik bening. Dengan rasa penasaran kudekati benda itu dengan cepat. Ahai, lagi-lagi rizki tak akan pergi kemana. Benda itu ternyata roti segar. Mungkin seseorang telah menjatuhkannya tanpa sengaja. Dengan semangat kuayunkan langkahku mencari tempat yang nyaman untuk makan. Aku berlari ke arah pinggiran toko. Di sana tak banyak orang yang lalu lalang. Aku memilih tempat di sudut toko. Tempat yang paling nyaman dan aman.

Tapi kenapa tak pernah ada sesuatu yang terlalu mudah. Roti telah di tangan tapi memakannya pun jadi masalah. Cobalah pikirkan bagaimana caraku membuka plastik yang membungkus rapat roti kecil ini dengan mengandalkan gigi dan hanya sebuah kaki depan. Akhirnya untuk beberapa lamanya aku hanya bisa kebingungan sambil mencoba menggigit sebisanya roti itu. Tapi roti itu begitu kecil dan aku butuh satu kaki untuk menahannya sehingga aku harus berputar putar. Lalu kucoba duduk. Mungkin ini cara yang tepat. Kakiku kugunakan untuk menahan roti itu sementara gigiku mencoba menyobek plastik yang membungkusnya. Tapi tetap saja susah. Plastik itu tak terkoyak sama sekali. Aku putus asa lalu kupeluk roti itu di balik tubuhku dan kubaringkan kepalaku di lantai toko itu. Aku hampir saja tertidur jika tidak kudengar suara seorang perempuan muda yang menggertak "Eh, najis. Minggir lu! jangan deket-deket, saya bisa alergi tahu!” kata perempuan itu lantang.

Aku kaget dan merasa kata-kata itu ditujukan padaku. Tapi setelah kudongakkan wajahku, kulihat perempuan yang bagiku seperti raksasa cantik nan tinggi semampai. Ia ternyata sedang menggertak pada seorang nenek tua yang meminta sesuatu padanya. “Nak, kalau tidak ada uang, makanan boleh juga, apa saja saya mau yang penting bisa mengganjal perut saya. Dari kemarin saya tidak makan, Nak”. Kata nenek itu penuh iba.

“Idih, sejak kapan saya jadi cucu nenek, Nak...Nak. Enak saja. Mau dari kemarin kek, tahun lalu kek, saya tidak peduli. Maaf saya buru-buru tidak ada waktu!” cerocos perempuan itu seraya berlalu menuju mobil mewahnya yang menyilaukan mata.

Aku merasa kasihan pada nenek itu. “Benarkah ia belum makan dari kemarin?apa dia nenek anak kecil di tong sampah tadi?” aku bertanya-tanya di dalam hati.

Nenek itu lalu duduk lesu di teras tokoitu. Keseluruhan rambutnya telah beruban. Kaki dan tangannya tampak kurus kecil. Badannya kumal dan baunyabukan main. Nenek itu membawa tas kain kumal berwarna hitam kecoklat coklatan. Sepertinya bukan warna tas itu tapi akibat jamur yang menebal.

Kupandangi roti di pelukanku. Aku dapat merasakan apa yang nenek itu rasakan karena saat ini aku juga sangat lapar. Tubuhku serasa lemas dan tak berenergi. Begitu mungkin yang juga dirasakan nenek itu.

Kulihat nenek itu menyondongkan badannya ke lantai. Ia seperti memungut sesuatu. Sebuah benda kecil putih bulat. Tak lebih besar dari kelereng. Sepertinya makanan. Dan memang benar karena tak berapa lama tangan kurusnya ia arahkan ke mulutnya. Lalu benda itu dikunyah dan ditelannya. Aku bisa melihat dengan jelas gerakan leher dan tulang –tulang kerongkongannya yang menonjol.

Kutatap lagi roti di pelukanku. Mungkinkah jika aku memberikan roti ini pada nenek itu?. Aku ragu. Kupandangi sekujur tubuh nenek itu dan aku semakin yakin dengan keputusanku. Aku bangkit perlahan. Kugigitroti itu dan kuletakkan di dekat nenek itu. Tapi tiba-tiba nenek itu memperhatikanku dan mengibaskan tas kumalnya hendak memukulku. Sepertinya dia takut padaku. Tapi kulihat wajahnya seketika bersinar saat melihat roti di hadapanku. Dan seepertinya aku sudah sampai pada maksudku. Akhirnya kuputuskan untuk meninggalkannya. Saat aku berlalu, kusempatkan menengokkan wajahku ke belakang. Kulihat nenek itu begitu riang melahap roti itu. Aku tersenyum lega meski tubuhku mulai kehilangan daya.

Aku berjalan sempoyongan dengan tenaga yang tersisa. Akhir- akhir ini sangat susah mencari makan. Bukan saja karena harus berebut dengan sesama anjing, tapi jatah anjing kini pun menjadi makanan pokok pengemis-pengemis itu. Kami pun para anjing harus rela berbagi jatah dengan mereka.

Aku sungguh tak mengerti dengan apa yang ada di pikiran manusia- manusia berkepala bulat dan wajahelok itu. “Kenapa mereka enggan memuliakan yang lain sehingga harus kami para anjing yang memuliakannya?...”

Tak ada yang menjawab pertanyaan itu, sebab tak ada yang mendengarku. Lagipula aku tak dapat mencari jawabannya sendiri. Tak sempat. Karena tak beberapa lama aku benar-benar tak berdaya dan tergeletak lunglai di bawah pohon dekat drainase. Hingga malam tiba aku benar benar mengalah dan berhenti bernapas di malam itu juga. Aku pergi tak meninggalkan keturunan, rumah dan makanan. Aku hanya meninggalkan pertanyaan itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline