Lihat ke Halaman Asli

Mobil

Diperbarui: 17 Juni 2015   16:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pagi itu Tya tampak terburu-buru. Jam 7.30 ia berjanji pada mahasiswanya untuk mengadakan mid test.Pasalnya, semester ini jadwal mengajarnya padat. Ia lebih banyak ke luar kota untuk mengajar di universitas lain. Dosen terbang, sebutan akrab untuk Tya, dosen muda cantik yang harus sliweran ke sana-kemari menambah deposito di bank, bakal modal kawin dan membangun rumah nanti.

Siapa pun tentu tak akan rela jika demi uang, seseoranglantas meninggalkan tugas utamanya. Tya tak punya pilihan. Banyak keluhan yang disampaikan mahasiswanya karena ia jarang hadir di kampus itu. Belum lagi sindiran halus yang kerap didapatkannya dari dosen lain yang notabene lebih senang “menetap” di kampus karena mereka memang punya bisnis sampingan. Bagi Tya, selagi ia masih dapat mengejar deadline, meski harus mengorbankan hari liburnya juga mahasiswanya atau kuliah saat matahari belum terbit, semua akan dianggap lancar. “ Dilematis tapi harus diterima dengan akal sehat”, pikirnya.

***

Yang lebih mengherankan lagi karena Tya adalah perempuan. Tak punya mobil dan harus menyewa angkutan umum untuk pulang pergi mengajar. Temannya yang uring-uringan melihat polah Tya yang sekelabat ada di kampus lalu dua jam berikutnya ada di luar kota, dengan angkot pula, menyarankannya untuk mengkredit mobil saja supaya tak payah transit di terminal dan berjubel dengan penumpang lain. Tapi Tya tetap Tya. Badannya sehat dan gerakannya lincah. Ia tak mau membebani pikirannya dengan kredit. Dari dulu ia takut sekali berhutang. “ Tidak bisa tidur nanti, “ katanya. Daripada di kejar-kejar hutang, Ia lebih memilih jadi commuter sejati untuk sementara waktu.

***

Tya berdiri di depan gang. Berdiri agak panik karena jarum panjang alrojinya sudah melewati angka 12. Berarti kurang beberapa menit ia harus sudah tiba di kelas. Sementara tukang ojek sepagi dan sedingin ini belum ada yang tampak satu pun. “Ah, masih pada tidur mereka kayaknya”, gumamnya. Tiba-tiba ia terkenang dirinya yang masih sendiri. “Indah pasti rasanya kalau jam begini masih di rumah dengan secangkir teh hangat bersama suami”. Tiba-tiba bayangan Rokhim, pria pujaannya yang saat ini sedang menyelasaikan S2-nya, silih berganti timbul tenggelam di kepalanya. “Aits apalagi ini, Tya be realistist plis, dia itu penakut banget, berani melamar hanya kalau sudah lulus. Mungkin kalau sudah lulus dia akan menunda lagi dan bilang, “Aku selesaikan dulu S3-ku ya”. Dia tidak sadar apa, ubannya mulai terlihat satu demi satu”, keluh Tya sambil membayangkan wajah Rokhim yang menyebalkan itu.

Lima menit menunggu tak ada tanda-tanda adanya tukang ojek yang sangat penting itu. Para tukang ojek itu benar-benartidak menyadari betapa penting kehadirannya bagi seorang dosen sekelas Tya. Faktanya, jika gerimis di pagi hari yang dingin begini, mereka lebih memilih berdiam di rumah atau malah banyak yang masih berkemul sarung, tak sadar rezekinya sudah mabur satu satu.

***

Tya makin resah. “Ah, daripada menunggu begini mending panggil taksi saja, terpaksa”.

Tya selalu mengambil pilihan taksi sebagai alternatif terakhir sebab ia sudah kapok naik taksi sendiri. Kecuali jika ada teman, ceritanya lain lagi.

Tut tut tut …Tya menindis tombol-tombol angka di handphonenya. Ia masih ingat nomor telepon taksi yang sering bersliweran di kotanya itu. Sayangnya ia tak ingat betul perusahaan taksi mana yang sopirnya terkenal genit-genit.

***

Tak lama kemudian sebuah taksi berhenti tepat di hadapannya. Legalah perasaan Tya. Beruntung jalanan masih lenggang, 15 menit bisa sudah sampai tujuan.

Di dalam taksi Tya membaca inbox sms yang diabaikannya saat menunggu ojek tadi. Rupanya dari mahasiswanya, ada 2 pesan untuk Tya.

“ Aslkum. Maafkan saya sebelumnya, Bu. Saya hanya ingin bertanya apakah MID-nya jadi diadakan hari ini?” dari Nasruddin Ketua Tingkat”.

Tya tersenyum membacanya. “ Sayang, apakah kesalahanmu sehingga harus meminta maaf sebelum bicara”, gumamnya sambil tersenyum tipis. SMS jenis ini, biasanya untuk dosen-dosen killer yang risih dengan sms mahasiswanya, kecuali Tya. Dia tipe dosen yang legowo, makanya dia geli membacanya.

Tya membalas sms itu “ Waslm, iya jadi. Saya masih di perjalanan menuju kampus”

“Aslmkm. Bu, sudah berangkat belum?”

Tya terbelalak membacanya. “ Ini mahasiswa atau tukang ojek yang kutunggu tadi ya?” tanyanya pada dirinya sendiri. Ini mahasiswa tipe lain yang kadang menyebalkan. Biasanya cowok atau yang suka SKSD. Tapi untuk ukuran Tya yang humoris, tetap saja ada kesan lucu sehingga ia tersenyum lagi. Tapi tetap saja ia mengintip nama pengirimnya, untuk menasihatinya supaya tidak terlalu kurang ajar pada dosennya.

***

Karena asyik dengan smsnya, Tya tidak menyadari kalau sedari tadi sisopir taksi memandangi wajahnya. Tya sentak kaget saat ia mendapati mata sopir yang merabainya lewat kaca dalam. Perasaan Tya mulai tak enak. Tapi ia memilih tersenyum untuk menghilangkan kekakuannya.

“ Mbak, cantik sekali, resepnya apa, ya? tanya pak sopir

Tya merasa pertanyaan itu seperti lecutan cambuk. Ceplas-ceplos tanpa basa-basi dan tentunya tidak sopan!.

“ Resepnya ya sering-sering berkaca biar kalau ada yng nggak beres di muka bisa dibenerin.Bapak mau tau aja. Memangnya bapak mau mempercantik muka, Bapak ya?” ceplos Tya. Kali ini ia melepas statusnya sebagai dosen dan beralih menjadi pribadi wanita pejuang dengan latar belakang apa pun.

Sopir itu mesem mendengar jawaban Tya.

“Mbak, sudah ada pacarnya belum?”

Tya benar-benar gerang dibuatnya. “ Saya sudah bertunangan malah!”.

“Oh, Mbak dingin-dingin begini kok sudah jalan. Di depan sana, ada lho tempat yang pas buat ngangetin badan. Saya bisa anterin”

Seperti ditohok keris, Tya terperanjak mendengar celoteh sopir genit itu. “Pak, bisa hati-hati nggak kalau bicara. Atau bapak saya laporkan ke polisi!”, ancam Tya dengan suara sedikit membentak. Sementara teleponnya sudah di genggamannya dengan posisi di depan telinga.

Sopir itu berhasil dibuatnya takut. Terbukti ia memilih diam dan terus melajukan taksinya. Sementara Tya mengatur nafasnya kembali setelah mendengar kalimat-kalimat tidak mengenakkan di pagi yang runyam itu.

Untungnya kampus sudah di depan mata. Belum ada mahasiswa yang tampak, apalagi dosen. Lalu di sebuah gedung fakultasnya, sekumpulan mahasiswa tampak menunggu di depan kelas. Merekalah mahasiswa Tya yang setia menunggu kehadirannya sejak tadi. Untungnya dia pun belum terlambat. Kurang lima menit kelas di mulai.

Tya menyodorkan uang seratus ribu barupada si sopir taksi. Mata si sopir melebar melihat uang itu.

“Mbak, mahasiswa kok duitnya gede banget..” cerocos si sopir menerima uang dari Tya.

“Pak, saya dosen di sini. Itu mahasiswa saya.” Tya menunjuk sekumpulan anak muda tepat di depannya.

Tya menyambar kembaliannya dan berlari ke kelas menghindari rintik hujan tanpa sempat melihat wajah sopir taksi yang benar-benar merah karena malu bukan kepalang. Ia menyesal telah melecehkan harga diri dosen terhormat itu. Perbuatan yang kadung biasa dilakukannya pada setiap penumpang wanita di taksinya, tak terkecuali nenek-nenek.

***

Malam itu Tya begitu terusik dengan bayangan sopir genit itu. Pasalnya, itu bukan pertama kalinya ia dilecehkan secara verbal di angkutan umum. Belum lagi pelecehan fisik tipis-tipis yang tetap saja menyakitkan di hatinya. Kaum adam zaman sekarang memang sudah semakin lupa dengan fitrahnya sebagai pelindung dan pemimpin bagi perempuan. Sebaliknya, mereka selalu memanfaatkan berbagai kesempatan dan keadaan untuk melecehkan perempuan demi memenuhi ajakan nafsunya. Sungguh teganya!.

Tya akhirnya mempertimbangkan keinginannya untuk cepat-cepat membeli sebuah mobil pribadi. Ada banyak alasan sebenarnya untuk tetap menggunakan angkutan umum. Mulai dari alasan pengurangan emisi gas, pengiritan maupun ajakan pemerintah untuk membudayakan memakai angkutan umum daripada memakai mobil pribadi untuk menghindari kemacetan, juga memang karena uang Tya masih peres walaupun sekedar untuk membeli mobil. Tapi Tya terlanjur kecewa dengan keadaan angkutan umum di kotanya yang sebenarnya bukan kota metropolitan itu. Tapi namanya penjahat, di manapun tempatnya, ulahnya tetap sama. Apalagi penjahat kelamin cap roda empat itu!.

***

Sebulan kemudian, sebuah mobil mahal meski bukan tipe mobil mewah layaknya mobil para seleb, terparkir di halaman rumah Tya dan keluarganya. Mulai bulan ini, usai syukuran mobilnya itu, Tya tak takut lagi dicolek-colek penumpang jahil atau dilecehkan dengan kata-kata cabul dan tidak senonoh. Kecantikannya akan tetap terjaga di dalam kap mobilnya. Bedaknya pun dipastikan akan tahan lebih lama. Ia bisa menikmati kebebasannya bepergian kesana kemari tanpa ada yang mengganggu. Lagipula tak ada istilah macet di kota kecil tempat ia tinggal, terkecuali jika ada demo atau perbaikan jalan.

Persetan dengan himbauan pemerintah atau idealisme lingkungannya, Tya akhirnya menemukan kebebasannya, di mobil pribadinya.

TAMAT

(Kendari, 09.00 – 11.30 am 26 November 2014

in a very dark and hot room with a bowl ofinstan noodle

and Mayumi Itsuwa’s song accompaniment)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline