Lihat ke Halaman Asli

Suka Duka Menulis

Diperbarui: 17 Juni 2015   11:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14230075141731090453

(Ilustrasi diambil dari http://www.hamera.com)

Semua orang sebenarnya bisa menulis tapi tidak semua yang mau menulis. Dan saya adalah salah seorang yang baru nyadar kalau menulis itu asyik. Ini bukan dusta belaka. Coba sendiri! menulis itu asyik. Kalau tidak asyik silakan tuliskan kebohongan saya ini dalam sebuah tulisan bebas 5 paragraf saja. Silakan maki-maki sesuka Anda lalu Anda pasti akan menemukan keasyikannya. Jadi, asyik nggak asyik bakalan asyik.

Namun ada suka duka menulis. Contohnya kalau menulis fiksi. Duka menyajikan fiksi pada orang yang tidak faham fiksi: kena damprat atau minimal jadi korban ketersinggungannya.

Contoh

Korban; lu tega banget ya ngehina gua di tulisan lo! (marah-marah)

Penulis; loh kok.. aduh …bukan elo yang gua maksud, tapi itu fiktif alias boongan, rekaan doang

Korban; tapi itu kan kisah hidup gua, ngapain kamu nulisnya kaya gitu? (tambah marah)

Penulis; ye mana gua tahu…suer itu ide murni fiktif, awalnya cuma satu kata eh gak tahunya gua dapat cerita kaya gitu….nah loh…jadi cerita hidup lo sama persis dengan cerita gua…kalau gitu makasih ya udah berbagi cerita

Korban; (nyadar dan melongo) iya ya kenapa gua bilang ama dia kalau itu mirip kisah hidup gua (gumam di hati)….oh…eng…gak kok.. maksud gua mirip kaya mimpi gua semalam…eh iya..iya mirip banget..(muka merah)

Penulis: (menangkap gelagat aneh)..oh gitu ya..kebetulan banget ya…

Korban; ehm..gua misi dulu ya, nulis lagi sana!..bagus kok ceritanya…nuhun…

Dan pastinya menulis ada sukanya juga. Menulis bisa jadi senjata karena pada dasarnya setiap profesi punya senjata yang berbeda-beda. Contoh, guru senjatanya nilai. Kalau lagi marah ibu atau bapak guru selalu bilang,”Awas, jangan nakal! nilai kalian ada di ujung pulpen saya”. Sebagian anak-anak bahkan ada yang sampai trauma saat melihat pulpen. Mereka berteriak histeris “Pulpen..pulpen..tolong…ada pulpen..tidaaaaaak!. Ibu guru tadi hanya mampu memandangi pulpennya sendiri dan membuangnya ke tong sampah secara sembunyi-sembunyi tanpa sepengetahuan kepala sekolah. Takut dijadikan barang bukti hahaha….

Polisi senjatanya asli keren, pistol atau senapan. Saat ada yang mengganggu kelancaran BAB-nya seorang polisi bisa saja menarik pelatuk senapannya dari toilet. Tembakan peringatan maksudnya. Namun secara agak sengaja, tembakannya menembus kamar tidurnya sendiri dimana di kamar itu istrinya sendiri, sesaat sebelum tembakan terdengar, berteriak histeris melihat dompetnya kosong di tanggal muda. Sehari kemudian si polisi dipecat secara tidak hormat karena telah menggunakan senjatanya dengan tidak senonoh dan menembak istrinya sendiri dengan semena-mena.

Beda lagi pemulung. Jangan pernah usil dengan mereka atau kalau tidak dia akan bilang begini,”Berani macam-macam gua peluk lo”. Pasti si usil akan lari ketakutan dan berteriak, “Tolong ..tolong jangan nodai bajuku, nodai saja celanaku!”..

Nah, kalau penulis mungkin menggunakan tulisannya untuk menjatuhkan lawannya. Contoh, si penulis membuat tulisan yang isinya menceritakan bahwa di dalam rumahnya ada harta karun tersembunyi. Lalu datanglah beberapa perampok yang hendak mengambil harta itu. Dengan perencanaan yang matang melalui perebusan yang lumayan lama, si penulis, yang juga pengarang cerita ini, menyiapkan trap atau jebakan untuk para perampok itu. Di lantai depan pintu rumah penulis itu dituliskan “Hati-hati lantai licin!” (yang sebenarnya memang licin, baca:jebakan kok dikasi tahu). Akan tetapi perampok itu waktu sekolah suka melanggar tata tertib bahkan hanya satu orang yang pernah bersekolah, karena bandelnya mereka menerjang lantai itu seenak kakinya. Dan akhirnya mereka terjatuh. Di situlah tulisan bisa menjatuhkan lawan. (ini cerita apa ya? Yang bikin jatuh bukannya jebakan. Ya udah baca aja, malas nge-delete, biar panjang ini tulisan).

Atau waktu sekolah dulu, entah kenapa semua siswa pasti takut ditulis namanya. Ini sering terjadi saat guru menyuruh siswanya mencatat. Teknik mengajar ini sudah sering kita dengar tentunya yaitu kurikulum CBSA (Catat Buku Sampai Abis). Karena teknik pembelajaran ini, sampai-sampai setiap pulang harus ada tukang urut yang siap menunggu di rumah setiap siswa. Tujuannya untuk mengurut tangan si anak yang kelelahan karena mencatat (sampai segitunya).Tapi itu hanya berlaku bagi orang tua yang beruang, tidak untuk yang miskin. Anak yang orangtuanya miskin sangat memahami keadaan orangtuanya yang serba pas-pasan (teteskan air mata Anda, ini adegan memilukan), sehingga mereka punya cara sendiri, kebetulan mereka punya sapi gado(sapi yang dititipkan untuk dirawat dengan keuntungan 2/3), diikatlah tali sapi di kedua tangannya. Lalu si adik yang belum sekolah (berarti belum mencatat) dengan penuh iba membantu kakaknya mengusirkan sapi itu. Tujuannya agar si sapi menarik tangan si kakak sehingga tidak perlu mendatangkan tukang urut sewaan..(tragis!..)

Kembali ke ‘takut namanya ditulis’, sering terjadi saat Ibu guru menyuruh muridnya mencatat di kelas. Murid diminta mencatat hingga jam pelajaran habis, biasanya satu bab yang terdiri dari 21 halaman tanpa tabel atau diagram. Pokoknya huruf semua dari awal sampai akhir bahkan ada catatan kakinya. Nah, saat itulah ketua kelas menggunakan otoritasnya secara otoriter pula yakni dengan mengancam,”Awas, siapa yang ribut, kutulis nama kau dengan indah. Jenis tulisan apa yang kau minta akan kukabulkan. Kalau perlu kutulis namamu jadi sepuluh supaya ibuguru hapal namamu” (sadis..). Ketua kelas yang demikian biasanya ketua kelas suruhan (Ibu guru). Ia sendiri tidak mencatat. Ia diperbolehkan mencatat di rumah dengan cara duduk atau nungging sesukanya ditemani bantal, kasur, TV atau secangkir teh hangat. Biasanya ada juga adik yang belum sekolah yang mengipas-ngipasinya saat mencatat. Sementara guru yang saat muridnya berpeluh-peluh mencatat satu bab, berpura-pura tidak enak badan karena ngidam dan hendak muntah di toilet selama jam pelajaran, dengan tanpa perasaan ia menghabiskan jam pelajaran untuk makan rujak di kantin dan ngerumpi dengan si pemilik kantin. Dengan mulut ngasur-ngasur (jawa:ekspresi kepedisan) ia menerima laporan tertulis dari ketua kelas. Di situlah ketua kelas memanfaatkan tulisannya untuk menjatuhkan temannya sendiri yang terdzalimi oleh guru sekaligus tercatat olehnya. (ini tulisan apa ya maksudnya?biarlah, nama juga kalau ditulis ya tulisan namanya).

Yup, tapi kurang lebih seperti itu. Tulisan kadang bisa dijadikan senjata oleh siapa saja yang bisa menulis. Ah, tapi bersikaplah sewajarnya saja karena jika tidak wajar berarti tidak normal (ini apa lagi maksudnya?). Maksudnya, jadikan menulis untuk hal yang bermanfaat dan berguna. Berguna untuk menghasilkan uang dan berguna untuk menjatuhkan lawan (kok balik ke yang tidak baik lagi ya).

Intinya menulis banyak manfaatnya. Contoh paling kecil, bisa meningkatkan tingkat ketenaran. Caranya, tulislah siapa Anda lalu tempelkan dipagar-pagar rumah tetangga. Anda pasti akan terkenal(gilanya).

Baiklah, itu saja. Saya lagi malas melucu. Dari awal sampai akhir tidak ada yang menghibur. Kalau begitu saya hapus saja..eh saya sudahi saja. Alhamdulillah dengan ini saya ucapkan tulisan ini telah disudahi. Sudah?sudahkan?baik. Sudah. Titik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline