Lihat ke Halaman Asli

Kampungan

Diperbarui: 17 Juni 2015   11:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humor. Sumber ilustrasi: PEXELS/Gratisography

Nama saya bunga. Itu nama alias. Nama asli dan panjangnya Mawar Melati Sedayana Indah. Itu khusus di kota. Kalau di kampung saya dipanggil Kembang.

Bicara soal kampung adalah pembicaraan yang saya banget, karena banyak yang bilang saya kampungan, yang dalam kamus Oxfordeso disebut Ndesho sementara dalam Ensiklopedia Kampungana disebutChatroe. Istilah kampungan, ndeso atau khatro sebenarnya punya definisi yang sama yaitu keadaan seseorang yang sangat terjepit oleh penghasilan sangat pas-pasan atau bahkan tidak ada sama sekali sehingga mengakibatkan keterbelakangan di setiap aspek kehidupan mereka terutama sandang, pangan, dan rumah tembok.

Meskipun kampungan, saya masih beruntung bisa berteman dengan anak-anak orang kaya atau berada (di atas saya) yang notabene anak-anak beruang (nggak pake kutub). Tetapi bagi mereka itu adalah kesialan karena sekali lagi, saya termasuk kasta sudra yang tidak layak disejajarkan dengan mereka. Meskipun katanya tak ada lagi sistem kasta tapi itu hanya teori, prakteknya masih ada. Buktinya kalau berjalan di tempat umum, karena penampilan saya yang sederhana atau bahasa halusnya (bahasa yang hanya dipakai oleh makhluk halus) ‘jadul’, masih banyak orang-orang yang berpenampilan klimis necis yang memicingkan sebelah matanya. Awalnya saya mengira mereka itu pada kelilipan, namun setelah proses perenungan yang begitu mendalam, kira-kira satu kilometer, saya sadar bahwa mereka menyepelekan saya. Saya memang begitu orangnya, selain miskin, bodoh juga pelupa. Lupa bahwa saya miskin dan bodoh.

Tapi soal miskin atau kampungan itu biasa. Yang penting saya bersyukur dengan apa yang saya miliki saat ini, beberapa teman yang setia, keluarga,buku yang telah menjadi kekasih saya, dan notebook, selingkuhan saya satu-satunya. Itu cukup bagi saya karena di luaran sana mungkin masih banyak saudara-saudara saya (bukan saudara kandung, baca: beda ibu lain bapak) yang lebih menyedihkan daripada saya.

Kalau ada orang yang mengatakan saya kampungan di hadapan saya, saya mesem saja bukan mesum. Seharusnya mereka bangga bertemu atau berteman dengan saya. Itu adalah pengalaman luar binasa yang mungkin tidak akan mereka temui kedua kalinya dalam hidup mereka. Karena di masa mendatang mungkin akan ada tembok besar yang memisahkan orang kaya dan miskin. Setiap orang suatu saat akan dilabelin MISKIN KAYA di jidatnya. Biar gampang nyortirnya. Kalau berteman jadi nggak ketuker-ketuker atau nggak salah pilih teman atau pasangan. Kan jelas labelnya. So, diharapkan tidak ada lagi istilah membeli sapi dalam karung. Karena karungnya nggak bakal muat hehehe.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline