Lihat ke Halaman Asli

Jihan Putri Utami

Mahasiswa Universitas Andalas

Bak Air Di Dalam Mangkuk

Diperbarui: 28 Desember 2023   13:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto : Diambil oleh saya sendiri

Tinggal di daerah pegunungan mungkin menjadi Impian bagi orang-orang yang tinggal di hiruk pikuknya kota. Namun bagi saya yang memang anak gunung sejak dalam kandungan ini cenderung lebih sering merindukan hangatnya sunset indah di ujung pantai lepas yang memang tidak saya dapatkan di daerah yang dengan suhu sehari-harinya sering mencapai 13 derajat celcius.  Namun bukan berarti saya tidak menikmati apa yang ada di tanah kelahiran saya yang di sebut sekepal tanah surga ini yaitu Kayu Aro, Kerinci sebuah kecamatan yang terletak di perbatasan Provinsi Jambi dengan Sumatera Barat.

Aku tentu bangga menyandang gelar sebagai anak gunung dan akan sangat memalukan jika kaki ini belum pernah menapak ke tanah yang tinggi menjulang itu. Namun tidak perlu diragukan bahwa setiap anak yang lahir di kaki gunung kerinci sudah memiliki jiwa petualang sejak kecil hehehe… setiap ada penemuan tempat baru yang bisa di jelajahi kaki ini selalu gatal untu segera meninggalkan jejak dan mengukir kenangan di sana, rasanya terlalu banyak keindahan alam di tempat tinggal saya yang amat sangat mubazir jika tidak disinggahi, mulai dari gunung, bukit, air terjun yang derasnya bukan main,  danau baik yang skala kecil ataupun besar, yang warna hijau ataupun biru, bahkan yang rendah maupun yang tinggi.

Iya di tempat saya ada sebuah danau yang berada di ketinggian 1950 mdpl itu merupakan tempat yang sangat indah, artis ibukota pun banyak yang jauh-jauh datang ke sini untuk menikmati keindahannya. Saya seringkali melangkahkan kaki ke sana untuk sekedar melepas candu dan Penawar rindu untuk mendaki gunung, ya karena untuk bisa ke danau tersebut harus mendaki gunung dengan ketinggian 2.735 mdpl. Itulah salah satu alasan saya tidak mau mengikuti organisasi mapala di kampus, sebab perihal mendaki dan jelajah alam sudah seperti rutinitas mingguan di tempat saya. Saya akan menceritakan perjalanan saya saat mendaki ke sana 14 Agustus yang lalu.

Danau gunung 7 namanya, mengapa bisa diberi nama itu karena dia dikelilingi tujuh buah gunung dan ketika ingin ke sana kita mendaki via gunung tujuh. Terletak di kecamatan gunung tujuh pelompek, sekitar 20-30 menit dari rumah saya.  

Sehari sebelum berangkat, saya dan empat teman menyiapkan setiap peralatan yang di butuhkan. Mulai dari tenda, matras, carier, nesting, seleeping bag, kompor, head lamp, gas dan lainnya, lalu dilanjutkan dengan menyiapkan logistik berupa mie instan, minyak goreng, beras, garam, telur, sosis dan nugget, roti, cemilan ringan dan satu buah semangka. Berat memang membawa satu buah semangka mendaki gunung, namun tidak akan terasa ketika menyantap es buah semangka diberi kental manis  ala-ala, meskipun tanpa es tetap terasa dingin dan sejuknya sebab suhu di sana memang layaknya dalam kulkas.

Pagi harinya kami berangkat pukul 10.00 WIB dan sampai di pos pendaftaran pukul 11.30 sebab salah satu motor mengalami kebocoran ban. Di pos pendaftaran barang-barang yang sudah kami susun rapi harus di bongkar ulang karena prosedur pendakian mengharuskan memeriksa barang dan mendatanya sekaligus mengisi data diri dan nomor darurat keluarga. Satu orang pendaki dikenakan biaya 20.000 rupiah per malam, dan kami memang sepakat untuk berkemah selama satu malam saja.

Kami memulai perjalanan dari pintu rimba pukul 13.00, sebelum sampai trek sebenarnya kami disuguhi pemadangan perladangan warga sekitar seperti kentang, cabai, dan kopi. Ketika jalan landai sudah habis itulah saatnya penderitaan di mulai.

Belum setengah jam kami mendaki, keringat kami sudah berjatuhan sebesar biji jagung  dan nafas kami sudah terengah-engah sampai hutan yang sepi seakan menjadi ramai dengan nafas lima orang pendaki ini.Kami berhenti sejenak untuk menetralkan detak jantung dan menyiram tenggorokan dengan air yang sudah kami persiapkan. Gunung 7 memang terkenal dengan treknya yang sangat miring, namun bagi anak-anak kerinci ini adalah hal yang sangat biasa sebab waktu SMP pergi ke sini malah hanya berbekal satu botol minum dan sebungkus nasi goreng dari ibu, ya kami tidak menginap waktu itu melainkan hanya tektok. Kami kini kelelahan karena membawa barang yang banyak dan berat terasa.

Waktu itu jalan sangat licin karena habis diguyur hujan dan kami mendaki di bulan hujan, sesekali diantara kami pasti ada yang terpleset. Kami tiba di pos 1 gunung 7 dan beristirahat lagi. Mulai dari pintu rimba  sampai di pos 1 kami belum bertemu dengan satu orangpun pendaki lainnnya. Agak 15 menit istirahat kami melanjutkan perjalanan dan pada akhirnya bertemu rombongan pendaki lainnya yang hendak turun berjumlah 8 orang, “Semangat bang semangat kak, 5 menit lagi sampai kok” yap lima menit lagi sampai itu sudah seperti kalimat wajib yang diucapkan antar pendaki untuk menyemangati. Sapaan seperti itu adalah hal biasa dalam dunia pendakian, salah satu teman saya rio bertanya pada pendaki tersebut , “ada orang di atas bang?” dan pendaki tersebut mengatakan sudah kosong. Hal itu berarti hanya rombongan kami yang naik.

Sesampainya di pos 3 kami berhenti dan beristirahat sangat lama, pos 3 adalah pos terakhir dan treknya jauh lebih sulit disbanding sebelumnya. Jadi energi kami sudah sangat terkuras saat itu.ditambah hujan yang tiba-tiba turun lebatnya yang terpaksa membuat kami lebih lama beristirahat lebih lama di pos 3. Setelah dirasa agak reda, kami memutuskan melanjutkan perjalanan dengan memakai as hujan yang sudah kami siapkan sebelumnya. Perjalanan berikutnya adalah turun ke ketinggian 1950mdpl untuk sampai ke danau gunung 7. Waktu normalnya untuk sampai ke bawah adalah satu jam. Namun perjalanan kami waktu itu benar-benar lambat sebab hujan Kembali mengguyur dan jalan yang kami lalui sangat curam dan terjal.

Sampai di bawah hujan sudah reda dan dingin mulai menyerang badai, kami sampai pada pukul 6 sore hari sudah mulai gelap. Kami segera mencari tempat untuk mendirikan tenda dan memutuskan mendirikan tenda di dekat mata air walaupun harus Kembali berjalan agak jauh dan mendaki-daki sedikit. Setelah sampai tiga teman lelaki mendirikan tenda, sedangkan saya dan satu saudara Perempuan saya memanaskan air untuk membuat kopi guna menghangatkan badan. Tenda selesai di saat hari sudah gelap gulita dan memang hanya kami berlima yang ada di situ saat itu, namun justru menyenangkan karena pergi kea lam ramai hilang vibes asri nya haha. Kami mendirikan 3 tenda, 1 untuk meletakkan barang dan 2 lainnya untuk tidur. Tentu terpisah antara laki-laki dan Perempuan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline