China Merebut Natuna dengan Dalih Tradisi Sejarah, Lantas Mengesampingkan Hukum Tertulis Internasional?
Bagai buah yang mekar di musim semi nan elok dipandang, tentunya mengugah selera siapa pun yang lewat di hadapan pohonnya. Namun, bagi masyarakat yang beradab dan memiliki nilai-nilai kesopanan, tentu tidak akan langsung memetiknya. Begitu lah sekelumit gambaran bila mana orang-orang paham akan pentingnya status kepemilikan agar terhindar dari suatu peristiwa yang dinamakan "pencurian".
Sesungguhnya, situasi seperti ini sedang terjadi di Indonesia. Tak sekadar pencurian kecil, namun upaya pengalihan milik ini terjadi dalam skala besar. Bahkan tak terhingga potensi ekonomi yang dapat menjadi risiko atas kehilangan ini. Bagaimana tidak, jalur laut yang sangat luas, amat luas, yang sebenarnya masuk ke dalam area teritorial suatu negara, diklaim sepihak begitu saja.
Tak berhenti di situ, yang menjadi korban tidak hanya satu atau dua negara saja, bahkan lebih! Oleh karenanya, apakah masih patut kita menolengkan muka dari konflik yang amat besar ini? Bila kita amati lebih jauh, Indonesia khususnya mengalami kerugian karena Laut Natuna yang mengandung hayati-hayati berharga, bahkan senilai ribuan, mungkin jutaan dolar pertahun. Bukankah itu sangat disayangkan?
Tak terbayang apabila mendadak, nun di seberang sana, sebuah negara mengaku Laut Natuna dengan potensi hasil ikan 500 ton per tahun adalah miliknya. Sedangkan, secara aturan tertulis Laut Natuna adalah milik Indonesia yang membentang dari Kepulauan Natuna hingga Kepulauan Riau, yang entah bagaimana, dianggap China sebagai salah satu bagian dari negaranya.
Terdapat sebuah asas yang mestinya didengar oleh pihak China, asas tersebut kurang lebih bunyinya "Barang siapa yang mendalilkan, dialah yang harus membuktikan." Oleh karena itu, banyak pihak dari negara-negara yang bersengketa perihal Laut China Selatan ini tidak mendapat titik terang. Negara China hanya memaparkan pernyataan, bahwasanya Laut China Selatan milik mereka itu memiliki 9 garis-garis, entah terkadang mereka menyebutnya 10, terkadang 11, dengan maksud garis itu adalah batas wilayahnya yang bersenggolan dengan yurisdiksi negara lain.
Apa alasan yang mereka gunakan ketika tertangkap tangan saat mencuri ikan di wilayah Laut Natuna Indonesia? Tentu saja bukan dengan sesuatu yang berlandaskan dasar hukum, melainkan sesuatu yang asing, sepihak, dan terkesan mempermainkan unsur kedaulatan negara. Alasan yang mereka gunakan ialah mereka mengikuti pedoman jalur penangkapan ikan tradisional ground (sedang dalam aturan asli sepantasnya adalah right atau hak), yang mana tentunya tidak ada dalam aturan hukum Internasional tertulis ataupun mendapat persetujuan dengan pihak negara manapun.
Jikapun andaikata China ingin menggunakan dasar alasan tersebut, mestinya ia menengok kembali pada Pasal 51 UNCLOS (Konvensi PBB Tentang Hukum Laut), yang mengizinkan tindakan penangkapan ikan tradisonal, akan tetapi tidak lain dari persetujuan kedua belah pihak. Tentunya harus membuat perjanjian tertulis dan resmi terlebih dahulu. Menariknya, satu-satunya negara yang memiliki hubungan perjanjian ini dengan Indonesia hanyalah Malaysia. Lagi dan lagi, China kalah telak dalam pembuktian atas klaim yang ia miliki.
Simpang siur berita yang meramaikan konflik ini, tak satupun ada yang menyatakan mengenai pendapat dari pihak China yang menjelaskan secara detail dan berbalut hukum, mengenai apakah sembilan garis-garis putus itu? Meski kepala dari negara-negara yang bersengketa dengannya angkat bicara, namun tak ada penjelasan lebih lanjut atas tindakan sepihak tersebut. Tak ubahnya permainan kucing dan tikus yang saling berkejar-kejaran.