Lihat ke Halaman Asli

Jihan Azkiya

Siswi SMA

Berjuang untuk Bangkit

Diperbarui: 29 September 2022   23:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

       Hari itu adalah dimana aku menjadi anak SD yang bahagia. Yang pada akhirnya masa di Taman Kanak-kanak berakhir. Aku bersekolah di salah satu Madrasah di daerahku. Saat itu, yang aku harapkan adalah sebuah kebahagiaan akan menyelimutiku. Pertama kali aku duduk di bangku Madrasah, aku merasa bahagia itu mulai ada, namun tak kunjung lama ketakutan itu hadir dan menghantui. Ketakutan-ketakutan itu menjadikanku lemah, kaki ku lumpuh untuk melangkah, tubuh ku dingin, dan hati yang sakit.

Aku berfikir, mungkin ini tak akan terjadi lama menimpaku. Semuanya akan selesai ketika mereka mengenal baik tentangku. Namun, apa yang aku harapkan dan fikirkan itu semuanya tidak berguna. Mereka terus mencaci maki kekuranganku sampai pengetahuanku. Aku bingung, apa yang sebenarnya membuat mereka menjadi seperti itu. Kita yang belum saling mengenal baik satu sama lain, mereka sudah menyimpukan aku buruk. Tetes tangis pun selalu ku jatuhkan setiap kali mereka menghina.

Saat itu, pelajaran dimulai. Semua murid memasuki kelasnya masing-masing. Dan aku yang saat itu memasuki kelas juga, ejekan itu kembali ada. Mereka mengatakan,

"Kotor banget si jadi orang." Kata itu yang keluar dari mulut mereka. Apa yang sebenarnya sudah ku perbuat sampai-sampai mereka berkata seperti ini. Aku duduk di tempat duduk ku dan memulai pelajaran. Saat itu, aku pikir mungkin hanya teman-temanku saja yang bersifat seperti itu, tetapi guru-guru ku juga. Semua tidak ada yang menghiraukan ku saat aku bertanya. Semua mata memandang aneh seolah aku adalah orang asing.

Aku hanya terdiam diri saat itu. Berharap semuanya akan baik-baik saja setelah kita saling mengenal lebih dekat.

Hari demi hari ku lalui dengan langkah kaki yang terus ku tapak kan. Maju perlahan dan menganggap semua tidak terjadi apa-apa. Tersenyum menyambut hari dengan sapa hangat menyemangati.

Aku fikir, mungkin hanya di sekolah saja yang membuat sedih. Ternyata, lingkungan rumahku juga. Aku tidak ditemani oleh tetangga-tetangga di lingkungan rumahku. Aku bingung, apa yang sebenarnya terjadi pada ku.

Saat aku ingin bermain dengan mereka, orang tua nya selalu memanggil temanku untuk tidak bermain denganku karena rumahku yang hampir roboh saat itu. Rumah yang sudah disanggah oleh kayu agar tak runtuh. Atapnya bolong sehingga kalau hujan turun, rumah ikut banjir.

Saat aku sedang bermain, orang tua teman-temanku memanggil dan berkata, "Pulang, jangan main di rumah hantu."

Mungkin keluarga ku saat itu sangat memahamiku. Mereka merangkul aku untuk masuk ke dalam rumah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline